Mohon tunggu...
Handoko Suhendra
Handoko Suhendra Mohon Tunggu... Swasta -

Supel

Selanjutnya

Tutup

Politik

Jendral Gatot yang Bersemangat dan Moeldoko yang Kehilangan Gaungnya

9 Oktober 2017   21:39 Diperbarui: 9 Oktober 2017   22:22 4345
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjelang massa purna tugasnya sebagai seorang prajurit militer sekaligus orang nomor satu ditubuh TNI, Panglima TNI Jendral Gatot Nurmantyo diduga telah melakukan serangkaian manuver politik yang menjadi sorotan publik. Dan tak jarang langkah-langkah yang dilakukan Gatot justru menimbulkan polemik disaat suhu politik yang kian memanas. Publik pun membaca, tindakan yang dilakukan Gatot adalah bagian dari agenda politik setelah dia tidak lagi menjabat sebagai Panglima TNI.

Meski demikian, Gatot membantah sejumlah tuduhan yang ditujukan kepadanya. Ia menegaskan, serangkaian pernyataannya beberapa waktu terakhir yang menuai kontroversi di publik bukan bentuk politik praktis. Lebih lanjut, itu masih sebatas tuduhan, belum ada bukti. Tentu saja jika Gatot terbukti berpolitik, ini menjadi masalah besar bagi dirinya dan juga negara, karena itu sama saja dengan melanggar sumpah jabatan sekaligus melanggar undang-undang yang berlaku.

"Buktikan kepada saya bahwa saya berpolitik praktis. Saya akan mempertanggungjawabkan itu semua. Tidak pernah saya berpolitik praktis," ujar Gatot dalam wawancara khusus dengan Rosiana Silalahi dalam "Rosi" di Kompas TV pada Kamis (5/10/2017) malam.

"Kalau saya berpolitik, pasti saya akan berpijak pada salah satu partai, dua partai atau tiga partai. Ini akan membelah dan ini tidak boleh. TNI tidak boleh melakukan politik praktis," lanjutnya.

Namun ia seolah tak peduli dengan penilaian orang lain tentang dirinya. Gatot tidak ingin mempersoalkan penilaian sejumlah pihak bahwa dirinya berpolitik. Gatot menganggap hal itu merupakan hak  setiap orang untuk menyatakan pendapat.

Kemungkinan Gatot berpolitik


Meskipun Gatot membantah segala tuduhan bahwa dirinya berpolitik, pernyataan Gatot dinilai kontradiktif dengan kenyataan yang ada selama ini. Belakangan, beberapa kali pernyataannya dianggap sebagai manuver yang kontroversial, bahkan berdampak politis. Dan berikut beberapa pernyataan Gatot yang disebut sebagai manuver politik :

Pertama, menjelang HUT ke-71 TNI, Gatot mengusulkan untuk dipulihkannya kembali hak berpolitik aparat TNI. Jika usulan diterima, maka ia akan sangat leluasa untuk memainkan politiknya tanpa harus mengelak dari segala macam tuduhan politik praktis yang membayanginya.

Kedua, Gatot juga hadir bersama dengan 7 juta massa yang berasal dari bumi datar saat melakukan Aksi 212 pada akhir tahun 2016. Adapun aksi itu dilakukan sebagai bentuk protes terhadap pernyataan Gubernur DKI Jakarta saat itu, Basuki Tjahaja Purnama, yang dianggap melakukan penodaan agama. Saat itu juga hadir Presiden Jokowi, Kapolri serta sejumlah menteri.

Pada waktu itu Gatot tampil menggunakan peci putih dengan setelan seragam dinas. Tak dipungkiri, penampilan Gatot yang terlihat lain dari pada sejumlah pejabat negara lainnya mendapat sorotan dan apreasi positif dari massa pendemo. Sejak saat itu Gatot diklaim berada pada pihak mereka. Sehingga tak heran, pada beberapa kali kesempatan foto Gatot sering dipakai untuk spanduk dan disandingkan dengan sejumlah tokoh yang pro terhadap Aksi 212. Imbas dari aksi tersebut nama Gatot makin dikenal luas oleh publik. Dan bahkan dalam survei yang dilakukan oleh sejumlah lembaga survei nama Gatot masuk dalam jajaran calon presiden maupun wakil presiden di 2019 mendatang.

Ketiga, pada Februari 2017 Gatot sempat bersitegang dengan Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu. Gatot mengeluh bahwa dirinya tidak mampu mengelola anggaran matra laut, darat dan udara karena adanya Peraturan Menteri Nomor 28/2015.

Dengan adanya peraturan tersebut, kewenangan anggaran pertahanan berada di bawah Menhan.

Keempat, Pada Mei 2017, Gatot juga mengungkapkan perbedaan pendapat dengan Polri soal adanya tuduhan makar dalam berbagai gelombang demonstrasi kelompok agama yang menguat pada akhir tahun 2016.

Penolakan makar disampaikan Gatot sebagai upaya untuk mengajak warga tidak takut dengan situasi politik terkini.

Kelima, Masih di bulan yang sama, pada Mei 2017, Gatot juga hadir di tengah Rapat Pimpinan Nasional Partai Golkar. Dia juga membacakan puisi "Tapi Bukan Kami", yang dianggap kritikan terhadap pemerintah.

Keenam, pada penghujung bulan september lalu, Gatot kembali melontarkan pernyataan kontroversialnya. Dalam sebuah rekaman yang beredar, Gatot menyebut adanya lembaga non-militer yang membeli 5.000 puncuk senjata secara ilegal. Sontak saja hal itu membuat gaduh dijagat publik. Tak selang beberapa lama pernyataan Gatot langsung dimentahkan oleh Wiranto. Menurut Wiranto, yang benar adalah 500 senjata dibeli dari PT Pindad (dalam negeri) untuk keperluan Badan Intelejen Negara (BIN).

Imbas dari pernyataan tersebut, Gatot dipanggil  untuk menghadap Presiden Jokowi di Istana Negara. Pertemuan tersebut berlangsung tertutup. Sejumlah pihak menduga, Gatot ditegur oleh Presiden, meski ia sendiri tak mengakuinya.

Terakhir, Gatot mengeluarkan instruksi untuk melakukan nonton bareng film Penumpasan Pengkhianatan G30S/PKI yang tidak hanya untuk jajaran internalnya, melainkan juga ajakan kepada warga sipil di sekitar markas TNI.

Alasan dibalik tuduhan manuver politik Jendral Gatot

Pertama, Gatot seolah belajar dari pengalaman Jendral TNI sebelumnya, Moeldoko. Moeldoko kehilangan gaungnya setelah ia tidak lagi menjabat sebagai Panglima TNI. Terbukti, tidak ada satupun jabatan strategis yang didapuknya setelah ia pensiun. Jangankan ditunjuk dan mengisi salah satu jabatan menteri, mengikuti seleksi pemilihan Ketua PSSI saja ia kalah telak oleh Edy Rahmayadi.

Sebagaimana kita tahu, Edy adalah salah satu petinggi TNI berpangkat Jendral bintang tiga yang merupakan anak buah Moeldoko saat masih aktif di dunia militer. Tak bisa dipungkiri, mungkin atas persepsi inilah yang membuat Gatot kian gencar mempromosikan dirinya dalam sejumlah aksi massa yang dipertontonkan kehadapan publik, maupun dalam berbagai pernyataannya yang kontroversial dan dianggap bermuatan politik.

Mengisi massa senjakalanya di dunia militer, Gatot seolah tidak ingin bernasib sama dengan Moeldoko. Sehingga ia menganggap, mungkin inilah saat yang tepat karena kesempatan tidak datang dua kali.

Kedua, mungkin juga Gatot belajar dari SBY. SBY dikenal cukup ulung dalam memainkan sandiwara politik. Terbukti, jabatan Presiden RI berhasil didapuknya selama dua periode berturut-turut. Dan yang terakhir adalah sepak terjang SBY ketika mendorong anaknya, Agus Harimurti Yudhoyono untuk masuk ke kancah politik. Lewat pertarungan liar Pilkada DKI, Agus pun kini telah dikenal luas oleh publik.

Sehingga itulah yang membuat Gatot secepat kilat muncul ke permukaan sebelum massa jabatannya berakhir. Mungkin rasa kepercayaan diri Gatot untuk segera masuk kegelanggang politik jauh lebih besar ketimbang memikirkan tuduhan publik yang diarahkan kepadanya. Toh nantinya, semua akan "Politik" pada waktunya. Langkah selanjutnya adalah masa penjajakan untuk berpasangan dengan sejumlah calon dan memilih partai politik mana yang layak untuk dinaungi.

Ketiga, begitulah kira-kira.

Salam Kompasiana,

Handoko Suhendra

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun