Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengapa SPBU Plat Merah Mulai Ditinggalkan?

28 September 2022   10:55 Diperbarui: 3 Oktober 2022   23:18 1415
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
SPBU Pertamina (My Pertamina via KOMPAS.com)

Penyesuaian harga BBM jenis RON 90 dan 92 yang diberlakukan pemerintah, memunculkan fenomena menarik yang barangkali tak pernah terpikirkan sebelumnya.

Di beberapa kota besar seperti Jakarta, Bandung maupun Surabaya, meski dijual dengan harga lebih mahal, masyarakat justru banyak beralih mengisi BBM untuk kendaraannya ke SPBU milik swasta. Apa pasal?

Dengan rentang harga yang kini tak berbeda jauh, masyarakat mulai mempertimbangkan aspek lain yang ditawarkan oleh SPBU swasta.

Spesifikasi produk yang dijual boleh jadi memang setara. Namun nilai tambah yang ditawarkan oleh SPBU swasta, tampak jauh lebih menarik. Pada titik ini masyarakat sudah tak lagi mempersoalkan besaran selisih harga BBM antara SPBU swasta dengan SPBU plat merah.

Dengan perbedaan harga jual antara 1000 hingga 3000 rupiah saja, masyarakat bisa mendapatkan pelayanan yang jauh lebih baik seperti, pembersihan kaca mobil gratis, isi angin ban gratis, hingga ketersediaan toilet sekelas hotel yang bisa digunakan secara cuma-cuma.

Saya sendiri berkesempatan mencoba beberapa SPBU swasta yang berlokasi di sekitar Jakarta. Di SPBU VIVO Pasar Minggu misalnya, saya merasakan betul pelayanan petugas yang amat prima.

Pengucapan salam yang ramah, pengisian BBM yang sigap, cepat, namun tidak terburu-buru, serta bagaimana sikap petugas saat menerima uang pembayaran, sangat berbeda jauh dengan bagaimana pengalaman saya mengisi BBM di SPBU plat merah.

Hal yang sama juga saya temui di SPBU milik SHELL di bilangan Rawamangun, Jakarta Timur. Konsumen tidak hanya dibuat takjub oleh keramahan si petugas. Kita pun dimanjakan dengan layanan pembayaran yang terkoneksi langsung dengan aplikasi ponsel.

Tak sekadar gimmick, benefit yang diperoleh bagi para konsumen loyal pun benar-benar bisa diperoleh secara langsung. Akan ada poin yang bisa ditukar dengan beragam produk SHELL, yang tentu saja tak butuh ditunggu hingga jumlahnya sampai beribu-ribu.

Ironisnya, saya sudah jarang sekali menerima pelayanan prima dari SPBU plat merah, apalagi yang sama persis dengan konten-konten pelayanan mereka yang banyak diposting di media sosial. Bisa saya katakan, nyaris tidak pernah lagi.

Sekadar berkata, "Mulai dari nol ya, Pak." saja sudah jarang dilakukan, apalagi dengan pelayanan basic lain. Rasanya memang tak dianggap penting sama sekali.

Jika pelayanan basic saja sudah dinomor sekiankan, kita tentu bisa membayangkan bagaimana kualitas fasilitas penunjang yang tersedia di sana.

Salah satu SPBU milik Pertamina | Sumber: Kompas.com
Salah satu SPBU milik Pertamina | Sumber: Kompas.com

Kritik juga saya alamatkan pada SPBU dengan jenis layanan mandiri (Self Service), yang terkadang "mendorong" konsumen untuk membeli BBM dengan jumlah nominal bayar, bukan dari jumlah kuantitas yang dibutuhkan konsumen.

Oleh sebab persoalan di atas, konsumen sering membeli BBM dengan jumlah yang melebihi kapasitas tangkinya. Sementara BBM yang tak bisa ditampung lagi oleh tangki namun masih jadi hak konsumen, terpaksa diikhlaskan walau nominalnya tak seberapa.

Tentu konsumen bisa mengklaim sisa BBM yang tak tertampung di tangki mereka kepada petugas. Tapi apakah nominalnya dikembalikan secara PAS sesuai yang tertera pada meteran SPBU? Sepengalaman saya, tidak.

Konsumen sering menerima uang kembalian yang menjadi hak mereka dengan nominal yang tidak semestinya. Selalu terjadi pembulatan. Bukan ke atas, tapi ke bawah. Semisal, konsumen memiliki hak uang kembalian 2,300 rupiah, maka uang yang dikembalikan hanya 2,000 rupiah saja. Sisa 300 rupiahnya ke mana? Entahlah.

Di luar isu mengenai kualitas BBM yang saat ini juga tengah dipertanyakan masyarakat, tentu kita tetap harus menunggu pada apa yang kelak dibuktikan oleh pihak berwenang. Saya tak ingin berspekulasi soal mengapa BBM jenis RON 90 di SPBU plat merah dirasa masyarakat menjadi lebih boros. Mari kita tunggu pihak-pihak terkait memberikan penjelasan yang kelak bisa dipertanggungjawabkan. (Penjelasan Pertamina soal Pertalite lebih boros baca di sini)

Namun dari beberapa poin yang saya sampaikan di atas perihal layanan, agaknya itu menjadi area yang berada jauh sekali dari zona nyaman milik SPBU plat merah.

Perasaan superior sebagai pemilik jaringan distribusi bahan bakar terluas di negeri ini, seolah membuat mereka jumawa akan terus menjadi pilihan nomor satu.

Tapi waktu pasti kelak membuktikan. Siapa yang tak berbenah, pasti ditinggalkan. Terlebih dengan disparitas harga yang kian mengecil, saya optimistis penetrasi SPBU milik swasta akan menjangkau lebih banyak wilayah lain.

Saya selaku masyarakat, tidak anti pada SPBU plat merah. Kita semua tentu jadi pihak yang paling mendorong mereka untuk menjadi yang terbaik, siap bersaing, dan tentu saja memberi keuntungan bagi negara.

Saya ulangi kalimat terakhir pada paragraf di atas, kita semua tentu jadi pihak yang paling mendorong mereka untuk menjadi yang terbaik, siap bersaing, dan tentu saja memberi keuntungan bagi negara.

Bukan sebaliknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun