Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Yang Fana adalah Juventus, Dybala Abadi

17 Januari 2022   16:00 Diperbarui: 17 Januari 2022   16:25 628
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketika Juventus mengalami kekalahan, kesedihannya hanya berputar-putar pada alam pikiran Juventini. Namun saat Dybala terpuruk, kesedihannya menjadi milik alam semesta.

Tiga musim adalah waktu yang cukup panjang, bagi seorang pesepak bola untuk hanya menjadi bayang-bayang pesepak bola lain yang jauh lebih populer. Dybala merasakan betul kepahitan itu, ketika Cristiano Ronaldo datang, menghisap habis sari-sari Juventus yang manis tanpa tersisa.

Dybala patut kecewa, ia datang ke Turin ketika Juventus sedang tidak baik-baik saja. Tim itu masih ringkih dan rapuh sepeninggal pelatih mereka, Antonio Conte. Namun lewat kedua kakinya, Dybala mampu membawa Juventus perlahan ke habitatnya yang paling ideal, habitat juara.

Duetnya bersama Gonzalo Higuain, secara tak terduga, menawarkan romantisme nostalgia pada duet Alessandro Del Piero dan David Trezeguet di masa lalu.

Dybala dan Higuain memang bukan yang terbaik, namun kombinasi keduanya saling melengkapi satu sama lain. Bahkan kebuntuan keduanya, selalu mampu diatasi oleh rekannya yang lain, Mario Mandzukic.

Bukan Juventus yang bersinar terang kala itu, kecemerlangan Dybala lah yang membuat Juventus tampak terang-benderang. La Joya, julukan Dybala, tak hanya berhasil menjadi ujung tombak yang mematikan, ia juga mampu menjadi pusat permainan Juventus yang dikomandoi Massimiliano Allegri.

Berkat Dybala, kreatifitas di lapangan berjalan dengan sangat baik. Skema menyerang Juventus yang pada era Conte hanya bertumpu pada satu lini, menjadi lebih cair. Juventus bisa menusuk dari kedua sayap, mereka juga bisa merangsek cepat dari tengah.

Keseimbangan tim yang menjadi kunci kolektifitas permainan, telah terjembatani dengan baik lewat kehadiran Dybala. Pergerakannya dalam merespon serangan balik lawan, juga patut menjadi teladan bagi para striker yang malas turun membantu pertahanan.

Dybala adalah fenomena anomali yang unik, wajahnya yang jauh dari kesan bengis, berbanding terbalik dengan performanya di atas lapangan. Sayang, romansa Juventus dan Dybala hanya bertahan sampai musim 2017-2018 saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun