Di kancah lokal, "cuacanya" pun hampir tak beda jauh. Julukan kekasih wasit hampir pasti tak pernah lekat pada Juventus dari tahun ke tahun. Insiden-insiden yang sekiranya merupakan kelalaian wasit, dan secara kebetulan menguntungkan Juventus, akan selalu menjadi perbincangan yang tak berujung, bagi para Bapak-bapak Milanisti & Interisti yang gajinya kecil dan bad sex life.
Lucunya hal semacam tadi menjadi tak berlaku, jika klub yang mereka dukung mendapat keuntungan dari kealpaan wasit. Standar ganda memang, persis seperti para SJW di sosial media, yang sering berkelahi mengenai bagian KFC yang paling enak, dada atau paha atas?
Tentu tidak semua Milanisti & Interisti begitu, mereka yang mapan, serta berkehidupan baik, cenderung meninggalkan jauh kontroversi, fokus mendukung klubnya & cukup menikmati rivalitas berkompetisi saja. Sayangnya, pengamalan sila ke-5 Pancasila belum cukup merata bagi seluruh tifosi.
Tetapi memang begitulah cinta, kata Agnezmo, ia kadang-kadang tak ada logika. Cinta tak cukup membutakan, ia juga bisa sangat mem-bucin-kan. Saya tak menyalahkan bagi mereka yang masih se-baperan itu mendukung tim kesayangannya. Karena suatu saat nanti, cinta pasti berproses, mendewasa.
Akan tiba saatnya, ketika cinta terhadap sebuah klub idola itu, bisa menopang dirinya sendiri. Tanpa perlu lagi mensyaratkan kebencian terhadap klub lain terlebih dahulu. Saya sudah berada pada titik ini.
Karenanya saya sudah tidak sensi lagi, ketika ada satu-dua orang yang meledek Juve dengan sebutan badut, tim wasit, bahkan tim mafia sekalipun. Sebab memang begitulah kenyataannya. Juventus masih tak ubahnya badut jika berkompetisi di Eropa, mereka juga masih sering diuntungkan wasit, dan, ya, bahkan di lingkaran terdekat pendukung garis keras Juventus, banyak diisi oleh mafia! Dan saya sama sekali tidak keberatan dengan ketiga hal tadi.
Itulah kekurangan Juventus yang mesti saya terima. Sama seperti misalnya saya menerima pasangan saya yang alisnya jelek, hidungnya pesek & bibirnya monyong. Sebab, bukankah sebuah konsekuensi dari jatuh cinta, ialah menerima apapun segala kekurangan dari ia yang kita cintai?
Tepat pada 1 November lalu, klub ini merayakan hari jadinya yang ke-122. Sebuah catatan usia yang fantastis, mengingat begitu sulitnya bertahan di tengah industri sepakbola modern, baik sebagai sebuah klub olahraga, maupun sebagai sebuah korporasi.
Lika-liku perjalanan Juventus, bahkan sudah banyak termuat di berbagai sumber literasi. Perjalanan panjang mereka pun bahkan sudah diangkat ke layar lebar dengan tajuk "The Black and White Stripes".
Di usianya kini, Juventus telah bertransformasi menjadi sebuah perusahaan olahraga modern, yang belakangan menjadi role model bagi seluruh rivalnya di Italia. Juventus menjadi satu-satunya klub yang paling siap menghadapi industri 4.0, ketika masih banyak klub di Italia masih belum menemukan bentuknya yang sesuai.
Hari ini kita menyaksikan Juventus berada di puncak, di saat banyak tim lain masih menjadi pesakitan. Tetapi ketimbang mengakui keberhasilan dan jerih payah Juve, tentu lebih mudah mengikuti asumsi dan narasi keputus-asaan, untuk setidaknya melampiaskan ketidak-berdayaan klub sendiri yang terlambat berbenah.