Mohon tunggu...
Handi Aditya
Handi Aditya Mohon Tunggu... Penulis - Pekerja teks komersil. Suka menulis, walau aslinya mengetik.

Tertarik pada sains, psikologi dan sepak bola. Sesekali menulis puisi.

Selanjutnya

Tutup

Bola Pilihan

Selamat Ulang Tahun, Badut Eropa!

3 November 2019   12:16 Diperbarui: 3 November 2019   12:28 639
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Pinterest/VarinKlk

Mencintai Juventus itu sulit, tetapi sekali kau mencintai Juventus, kau akan menjadi Juventino selamanya.

Kalimat romantis di atas tentu bukan keluar dari seorang fans Juventus kaleng-kaleng seperti saya, yang baru menggilai klub berjersey ala kantong kresek warung ini, sejak Del Piero masih seusia Iqbaal CJR. Kalimat tadi juga mustahil terlontar dari para glory hunter dadakan, yang tiba-tiba menjadi fans Juventus, semenjak Cristiano Ronaldo resmi bergabung.

Adalah Zinedine Zidane, seorang legenda sepakbola asal Perancis yang kini melatih klub terbaik di dunia, Real Madrid, yang secara mengejutkan membuat pernyataan semanis tadi.

Saya tentu tak perlu membuat beberapa alinea untuk memperkenalkan sosoknya. Sedikit clue saja, mantan pesepakbola ini merupakan salah satu pemilik gelar terlengkap di muka bumi, kecuali trofi Piala AFF tentunya.

Zidane tak asal bicara, mencintai Juventus memang tak semudah jatuh cinta pada Real Madrid, Barcelona, ataupun Manchester United City. Seumur-umur saya menggilai klub ini, saya tak sekalipun mendapatkan kesan dengan permainan sepakbola indah yang disuguhi oleh si nyonya tua. Juve lebih sering dikenal dengan sepakbola bertahannya yang membosankan, bertele-tele, keras, bahkan sedikit kasar.

Mereka yang jatuh cinta terhadap Juve, tentulah mereka yang memiliki selera sepakbola yang abnormal. Ibarat kata, di luar sana masih ada Luna Maya, para juventini malah terpikat pada Lucinta Luna. 

Tapi lagi-lagi, ini cuma soal selera 'kan? Kadang penjelasan selogis apapun menjadi tidak masuk akal.

Kalau mencintai Juve sebegitu sulitnya, lain halnya dengan membenci Juve. Kadang, orang tak memerlukan lagi alasan, apalagi penjelasan, untuk sekadar membenci klub ini. Mendengar nama Juventus saja, orang bisa langsung muak, mual. Tak terhitung berapa sumpah serapah dari mereka yang membenci Juve, acapkali Juve dinaungi kesuksesan dan keberuntungan.

Juventus memang menjadi personifikasi ideal dari sebuah gambaran penguasa-yang terlalu luas bentuk kuasanya. Maka tidak heran, ketika Juve tersandung, jatuh, banyak orang bersuka-cita merayakan keterpurukan si penguasa.

Hal tersulit setelah jatuh cinta, ialah merawat cinta itu sendiri. Dan menjadi orang yang ditakdirkan mencintai Juventus, hal ini sungguh sangat menguji kedewasaan. Seumur hidup, saya sudah menyaksikan Juve di 3 laga final Liga Champions yang berbeda. Dan dari ketiganya, tak ada satupun yang berhasil dimenangkan oleh Juventus. Olok-olok soal Badut Eropa, jago kandang & lain sebagainya, sudah jadi makanan sehari-hari.

Di kancah lokal, "cuacanya" pun hampir tak beda jauh. Julukan kekasih wasit hampir pasti tak pernah lekat pada Juventus dari tahun ke tahun. Insiden-insiden yang sekiranya merupakan kelalaian wasit, dan secara kebetulan menguntungkan Juventus, akan selalu menjadi perbincangan yang tak berujung, bagi para Bapak-bapak Milanisti & Interisti yang gajinya kecil dan bad sex life.

Lucunya hal semacam tadi menjadi tak berlaku, jika klub yang mereka dukung mendapat keuntungan dari kealpaan wasit. Standar ganda memang, persis seperti para SJW di sosial media, yang sering berkelahi mengenai bagian KFC yang paling enak, dada atau paha atas?

Tentu tidak semua Milanisti & Interisti begitu, mereka yang mapan, serta berkehidupan baik, cenderung meninggalkan jauh kontroversi, fokus mendukung klubnya & cukup menikmati rivalitas berkompetisi saja. Sayangnya, pengamalan sila ke-5 Pancasila belum cukup merata bagi seluruh tifosi.

Tetapi memang begitulah cinta, kata Agnezmo, ia kadang-kadang tak ada logika. Cinta tak cukup membutakan, ia juga bisa sangat mem-bucin-kan. Saya tak menyalahkan bagi mereka yang masih se-baperan itu mendukung tim kesayangannya. Karena suatu saat nanti, cinta pasti berproses, mendewasa.

Akan tiba saatnya, ketika cinta terhadap sebuah klub idola itu, bisa menopang dirinya sendiri. Tanpa perlu lagi mensyaratkan kebencian terhadap klub lain terlebih dahulu. Saya sudah berada pada titik ini.

Karenanya saya sudah tidak sensi lagi, ketika ada satu-dua orang yang meledek Juve dengan sebutan badut, tim wasit, bahkan tim mafia sekalipun. Sebab memang begitulah kenyataannya. Juventus masih tak ubahnya badut jika berkompetisi di Eropa, mereka juga masih sering diuntungkan wasit, dan, ya, bahkan di lingkaran terdekat pendukung garis keras Juventus, banyak diisi oleh mafia! Dan saya sama sekali tidak keberatan dengan ketiga hal tadi.

Itulah kekurangan Juventus yang mesti saya terima. Sama seperti misalnya saya menerima pasangan saya yang alisnya jelek, hidungnya pesek & bibirnya monyong. Sebab, bukankah sebuah konsekuensi dari jatuh cinta, ialah menerima apapun segala kekurangan dari ia yang kita cintai?

Tepat pada 1 November lalu, klub ini merayakan hari jadinya yang ke-122. Sebuah catatan usia yang fantastis, mengingat begitu sulitnya bertahan di tengah industri sepakbola modern, baik sebagai sebuah klub olahraga, maupun sebagai sebuah korporasi.

Lika-liku perjalanan Juventus, bahkan sudah banyak termuat di berbagai sumber literasi. Perjalanan panjang mereka pun bahkan sudah diangkat ke layar lebar dengan tajuk "The Black and White Stripes".

Di usianya kini, Juventus telah bertransformasi menjadi sebuah perusahaan olahraga modern, yang belakangan menjadi role model bagi seluruh rivalnya di Italia. Juventus menjadi satu-satunya klub yang paling siap menghadapi industri 4.0, ketika masih banyak klub di Italia masih belum menemukan bentuknya yang sesuai.

Hari ini kita menyaksikan Juventus berada di puncak, di saat banyak tim lain masih menjadi pesakitan. Tetapi ketimbang mengakui keberhasilan dan jerih payah Juve, tentu lebih mudah mengikuti asumsi dan narasi keputus-asaan, untuk setidaknya melampiaskan ketidak-berdayaan klub sendiri yang terlambat berbenah.

Liga Italia akan terus bergulir, sementara Juve, akan terus berlari kencang. Dan selagi itu pula, klub ini akan terus dibenci oleh para pembencinya.

Juve akan terus melesat, seiring dengan banyaknya sumpah serapah kebencian di sekitarnya. Entah sepuluh, lima puluh, atau bahkan seratus tahun lagi. Sebuah rentang waktu, yang bahkan saya ragu, akan mampu berhasil dilewati oleh klub-klub yang sekarang menjadi rivalnya.

Selamat ulang tahun, Badut Eropa!

***

Penulis biasa dihujat di akun Twitter @juve_gl

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bola Selengkapnya
Lihat Bola Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun