Mohon tunggu...
Hanom Bashari
Hanom Bashari Mohon Tunggu... Freelancer - wallacean traveler

Peminat dan penikmat perjalanan, alam, dan ceritanya

Selanjutnya

Tutup

Trip Artikel Utama

Membelah Danau Tempe, Menyaksikan Sisa Kehadiran Para Pelintas Samudra

16 September 2021   20:05 Diperbarui: 16 September 2021   22:35 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pagi hari, membelah kerumunan eceng gondok di Danau Tempe. (@Hanom Bashari)

2015. Danau Tempe, Sulawesi Selatan

Tak selamanya perjalanan saya menggunakan perahu hanya di lautan. Walaupun tak banyak, satu kali saya pernah juga menyusuri sungai dan danau. 

Beberapa yang cukup terkesan ketika saya mengunjungi Danau Tempe di Sulawesi Selatan.

---

Tepat selepas subuh, jelas masih gelap. Saya telah bersiap di muka hotel menunggu kawan baru saya. Mobil sewaan kami pun sudah siap. 

Tak lama, Olivier kawan saya, datang. Kami segera masuk ke mobil dan menuju Tempat Pelelangan Ikan 45 di tepi Sungai Walanae, Sengkang, Kabupaten Wajo Sulawesi Selatan.

Ufuk timur sudah terlihat agak terang, cerah di awal Maret ini. Sebuah perahu kayu kecil bermotor ketinting telah menunggu kami di tepi dermaga kecil yang telah dikontak oleh teman kami sebelumnya. 

Kami berdua segera menduduki posisi masing-masing dalam perahu tanpa cadik ini, kemudian meluncur cepat melawan arus Sungai Walanae ini yang tenang, menuju barat, letak Danau Tempe tujuan kami.

Baca juga: Ketinting, Kapal Layar, dan Kehidupan Desa Pesisir

Entah bagaimana, frasa  Danau Tempe ini selalu teringat-ingat di pikiran saya, bahkan seperti begitu membekas. 

Saya menduga karena ibu saya dulu beberapa kali mengatakannya sewaktu saya kecil, karena beliau sangat mahir untuk menghafal nama-nama pulau, daerah, danau, lapangan terbang, dan sebagainya di seluruh Indonesia, walaupun beliau belum pernah ke daerah-daerah tersebut. 

Jadi ketika saya tahu akan melakukan kunjungan tugas ke Sengkang, dekat Danau Tempe, maka tidak bisa tidak, saya harus berkunjung ke danau ini.

Dalam buku Ekologi Sulawesi-nya Tonny Whitten yang legendaris itu, Danau Tempe dimasukkan dalam kategori danau endapan. 

Namun dari informasi Wikipedia, kita bisa mendapatkan informasi bahwa danau ini termasuk danau tektonik purba yang terbentuk bersamaan dengan terbentuknya daratan Sulawesi yang berada di atas lempeng benua Australia dan Asia. Luasnya sekitar 35 ribu hektar dan menjadikannya sebagai danau terluas kedua di Sulawesi.

Karena saya lebih banyak berkunjung ke daerah-daerah Sulawesi, Maluku, dan Nusa Tenggara, maka tidak banyak pengalaman saya menyusuri sungai-sungai besar dan danau dengan perahu.

Umumnya yang saya alami adalah menyusuri sungai berhutan-bakau di daerah pesisir. Namun menuju Danau Tempe ini, saya disuguhi sesuatu yang lain, suasana desa-desa setengah kota di tepi sungai.

Beberapa aktivitas masyarakat dapat dilihat ketika kami menyusuri sungai ini. 

Tampak masjid, sekolah, permukiman, dan sebagainya. Kami sengaja meminta operator perahu kami untuk sedikit pelan melajukan perahu, agar saya pribadi dapat menikmati apa yang kami lewati ini. 

Sungai masih terasa tenang di pagi ini, namun seketika sedikit bergelombang ketika kami berpapasan dengan beberapa perahu lain yang melintas.

Masjid dan kehidupan masyarakat di sekitar tepian Sungai Walanae, Sengkang, Sulawesi Selatan. (@Hanom Bashari)
Masjid dan kehidupan masyarakat di sekitar tepian Sungai Walanae, Sengkang, Sulawesi Selatan. (@Hanom Bashari)

Tak lama kelompok permukiman berakhir. Kanan kiri kami kini terlihat persawahan yang terbentang luas. Air sungai tidak terlihat keruh saat itu, hanya memang tidak terlalu jernih juga. 

Setelah hampir lima kilometer menyusuri sungai selama sekitar 20 menit sejak perjalanan awal tadi, perlahan terhamparlah Danau Tempe nan luas di hadapan kami.

Kabut tipis masih tersisa di sebagian permukaan danau, bergerak pelan laksana suasana mistik. Angin dingin menghempas kami, sementara dari arah belakang kami, sinar putih mentari mulai menyeruak perlahan.

"Jalan pelan-pelan saja pak ke arah sana," saya menginstruksikan pembawa perahu kami sambil menunjuk ke arah barat danau sebagai tujuan, yang sesungguhnya kami tidak punya tempat tujuan.

Sesekali kami membelah kerumunan eceng gondok yang tersebar cukup banyak di permukaan air. Tujuan kami sebenarnya mau melakukan  pengamatan burung-burung air. 

Di sinilah letak tantangannya. Posisi kami agak sulit di perahu ini, tapi ini merupakan pilihan terbaik. 

Kami dapat melintas danau, menuju ke arah mama pun yang kami inginkan di danau ini. 

Di leher kami tergantung teropong binokular dan saya sendiri membawa seperangkat kamera SLR plus lensa panjang.

Membawa seperangkat kamera SLR dalam perahu tanpa cadik seperti ini susah-susah gampang, apalagi dengan lensa panjang yang cukup berat. 

Ada juga tripod yang tidak mungkin digunakan dalam perahu. Susah memperoleh kestabilan, apalagi dalam suasana cahaya yang belum terang sekali.

Kekhawatiran kapal terbalik atau alat jatuh ke air sangatlah tinggi. 

Ketika ada objek menarik, tidak serta merta juga perahu bisa langsung dihentikan seperti kendaraan di darat. 

Namun segala keterbatasan ini kami nikmati saja, karena dokumentasi foto yang baik bukan menjadi target penting kami, tapi melihat dan mencatat burung yang kami temui merupakan hal yang utama.

Pemandangan pertama dalam hamparan Danau Tempe ini, yang terkesan pertama bagi saya adalah kehadiran eceng gondok yang bertebaran dalam jumlah luar biasa banyak. 

Bilah-bilah bambu yang cukup panjang banyak tertancap sampai ke dasar danau yang tampaknya ditujukan untuk menghalangi pergerakan eceng gondok ini ke arah semacam keramba ikan yang dikelola oleh masyarakat sekitar danau.

Kumpulan eceng gondok yang terhalang tiang-tiang bambu penahan pergerakannya di Danau Tempe.  (@Hanom Bashari) 
Kumpulan eceng gondok yang terhalang tiang-tiang bambu penahan pergerakannya di Danau Tempe.  (@Hanom Bashari) 
Tampak juga beberapa rumah apung, yang sebagiannya saya perhatikan kosong tak berpenghuni. 

Rumah berdinding kayu atau bilik bambu, dengan alas potongan-potongan bambu yang diikat sedemikian rupa sehingga mampu mengapungkan rumah di atasnya. Sebagian rumah juga merupakan rumah panggung pendek.

Karena tujuan kami melakukan pengamatan burung, maka kami mencari lokasi-lokasi yang lebih banyak hijauannya, baik itu berupa semak di pinggir danau atau pun kerumunan eceng gondok. Bahkan kadang-kadang kehadiran burung juga terlihat di deretan pucuk-pucuk tiang bambu penghambat pergerakan eceng gondok tadi.

Sebagian area danau sepertinya telah mengalami pendangkalan. Hal ini ditandai dengan tumbuhnya berbagai rumput dan gelagah yang memerlukan substrat tanah. Namun di sinilah beberapa burung sering bersembunyi.

Tak menunggu lama, tiba-tiba ratusan burung dara-laut kumis (Chlidonias hybrida -- dalam nama latin) yang entah datang dari mana berseliweran di tepat di atas kami. 

Mereka memang kelompok jenis dara-laut yang paling sering dijumpai sampai ke tengah daratan, biasa mengunjungi danau berlumpur atau persawahan luas.

Ratusan burung dara-laut kumis (Chlidonias hybrida) yang tiba-tiba hadir saat kami berada di tengah Danau Tempe. (@Hanom Bashari)  
Ratusan burung dara-laut kumis (Chlidonias hybrida) yang tiba-tiba hadir saat kami berada di tengah Danau Tempe. (@Hanom Bashari)  
Sebagian burung-burung di Danau Tempe yang kami jumpai sebenarnya adalah burung-burung pendatang. Ya benar, pendatang, mereka tidak menetap. 

Secara reguler, beberapa jenis burung memang melakukan perpindahan atau migrasi, khususnya selama musim dingin, baik dari bagian utara maupun selatan khatulistiwa, untuk menuju negeri kita ini yang beriklim tropis dan hangat sepanjang tahun.

Bulan Maret seperti ini sebenarnya waktu-waktu akhir para pengembara ini di negeri tropis, sebelum kembali ke lokasi asalnya di daerah utara khatulistiwa, seperti Tiongkok, Jepang, dan Rusia. 

Sebagiannya dari mereka bahkan akan melintasi samudra untuk sampai di tempat yang hangat dan berlimpah makanan di negeri tropis Indonesia ini, maupun saat kembalinya.

Sebenarnya, saat kami berkunjung di Danau Tempe ini bukanlah waktu utama jika ingin mengamati kehadiran para burung pengunjung. 

Puncak kedatangan mereka biasanya pada bulan-bulan November Desember. Daerah-daerah yang rutin menjadi tempat persinggahan mereka, pasti akan ramai kondisinya.

Setelah puas berputar-putar, kami singgah di salah satu rumah apung yang kosong. 

Denyit suara bambu terdengar bersahutan, saat kami dengan hati-hati melangkah. 

Rumah memang kosong, entah punya siapa. Hanya ada beberapa helai pakaian usang menggantung sembarangan di dalam satu-satunya ruangan yang ada di dalamnya.

Sebagian rumah apung yang berada di tengah-tengah Danau Tempe. (@Hanom Bashari)
Sebagian rumah apung yang berada di tengah-tengah Danau Tempe. (@Hanom Bashari)
"Sebenarnya ada beberapa tempat dengan banyak rumah apung yang sudah seperti perkampungan, pak," terang bapak pengantar kami yang mengoperasikan perahu tadi.

"Di mana itu pak?"

"Yaa agak jauh dari sini. Bapak mau ke sana?"

"Tidak pak, cukup di sini saja. Saat ini kami hanya ingin melihat burung-burung saja," terang saya.

Sambil sedikit ngobrol pelan, kami berhati-hati sambil memasang beberapa tripod kami, untuk dudukan kamera dan monokuler kami. 

Beberapa burung cici padi yang kecil mungil dengan suara gemetarnya yang khas, main petak umpet di antara gelagah atau eceng gondok. Sementara tak jauh di atas kami, kelompok kirik-kirik laut terbang santai sambil berburu serangga melayang.

Menjelang sembilan pagi yang terasa lebih panas, kami kembali. Mengamati para nelayan danau yang mulai banyak berseliweran, entah dari permukiman di darat atau pun dari rumah-rumah apung ini. 

Danau Tempe memang dikenal luas sebagai salah satu penghasil ikan air tawar terbesar di Sulawesi.

Sementara kami menuju Sungai Walanae, beberapa elang tikus yang putih bersih dengan mata merahnya, bertengger di pucuk-pucuk tiang bambu, seperti tak terganggu dengan kehadiran manusia. 

Memasuki kembali Sungai Walanae, kami masih sempat mengamati beberapa burung mandar berlarian di antara rerumputan tepi sungai. Sawah berganti permukiman. Kesibukan makin tinggi dalam lalu lintas sungai.

Sungai Walanae merupakan salah satu outlet dari Danau Tempe ini, yang bermuara di Teluk Bone di sisi timur, di Cenrana Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. 

Sungai yang dapat mencapai lebar lebih dari 50 meter ini memang terlihat berfungsi sebagai jalur transportasi, khususnya yang melewati sisi barat laut kota Sengkang di Wajo.

Beberapa hari kemudian, saya kembali lagi ke danau ini. Kali ini dengan beberapa teman saya dalam rombongan lebih besar. 

Ya tidak lain karena mereka mendengar cerita saya, bagaimana kemolekan danau ini, tidak bisa untuk dilewatkan bagi kami para pejalan, yang hanya mengunjungi daerah ini sesekali saja. 

Singgah di rumah apung yang berpenghuni, disediakan pisang goreng oleh penghuninya, dan terasa damai dan nyaman. Benar, pagi hari di sini sungguh indah dan menawan.*

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Trip Selengkapnya
Lihat Trip Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun