Transfer pricing menjadi isu krusial dalam perpajakan internasional karena beberapa alasan strategis:
a. Risiko Erosinya Basis Pajak
Salah satu alasan utama transfer pricing menjadi perhatian adalah karena potensinya dalam menggerus basis pajak (base erosion). Ketika MNE melakukan manipulasi harga dalam transaksi afiliasi, mereka bisa memindahkan keuntungan ke negara dengan tarif pajak rendah sehingga mengurangi kewajiban pajak di negara tarif tinggi.
Contohnya, PT. Mandiri di Indonesia menjual produk ke afiliasinya di Hong Kong dengan harga rendah, lalu dijual kembali ke pasar dunia dengan harga tinggi. Keuntungan besar tercatat di Hong Kong, yang memiliki tarif pajak lebih rendah daripada Indonesia. Hal ini merugikan Indonesia karena potensi penerimaan pajak berkurang.
b. Pertumbuhan Perusahaan Multinasional
Meningkatnya peran perusahaan multinasional dalam perekonomian dunia juga memperbesar risiko praktik transfer pricing yang agresif. Data OECD (2023) menunjukkan bahwa lebih dari 60% perdagangan global terjadi dalam jaringan perusahaan multinasional, dan lebih dari 30% di antaranya bersifat intra-grup.
c. Ketimpangan Fiskal antar Negara
Transfer pricing dapat menciptakan ketimpangan penerimaan fiskal antara negara berkembang dan negara maju. Negara berkembang seperti Indonesia yang menjadi lokasi produksi, seringkali kehilangan potensi pajak karena praktik transfer pricing yang dilakukan oleh entitas grup di negara-negara maju.
d. Munculnya Tax Haven
Negara-negara dengan kebijakan pajak sangat rendah atau bahkan nol, seringkali dijadikan lokasi penampungan laba hasil praktik transfer pricing. Negara seperti Bermuda, Cayman Islands, dan Panama merupakan contoh tax haven yang umum digunakan dalam skema penghindaran pajak melalui transfer pricing.