Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... Human Resources - A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Artikel Utama

Another Day in Paradise

4 Maret 2015   00:45 Diperbarui: 17 Juni 2015   10:12 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1425394133488307080

[caption id="attachment_400704" align="aligncenter" width="580" caption="Ilustrasi/Kompasiana (Kfk.kompas.com/Andri Harmaya)"][/caption]

Samantha berdiri di trotoar. Bergeming. Lantas, tangkapan almond eyes-nya menemukan sebuah gedung bertingkat—yang sangat enggan ia hitung berapa jumlah lantainya.

Semakin lama menatap bangunan berwarna krem dengan kaca berwarna hijau dari kejauhan itu, entahlah, ia merasa seperti manusia dari planet lain. Lalu, mengapa ia ada di bumi? Rekreasikah? Tapi, yang jelas, ini bukan rekreasi yang menyenangkan. Karena ia berada di sini seperti tidak ada persiapan sebelumnya. Bahkan, saat ia merogoh saku jeans, tidak ada uang sepeser pun.

“Aku akan ke sana!” serunya. Hendak mendekati benda berbentuk persegi panjang yang seolah dapat menggapai langit itu. Namun, belum sempat memasuki halaman, langkahnya mendadak gontai. Dan, ketika ada pohon di hadapannya, ia mengaitkan siku lengan kirinya pada batang sebagai pegangan. Namun, itu tidak bisa membantunya. Ia pun limbung. Kegelapan merasukinya.

***

“Kau itu tetap saja dingin seperti salju!”

Samantha membuka mata. Iris hazelnya mengerjap-ngerjap. Menyesuaikan cahaya terang yang ada di ruangan itu. Ruangan yang rasanya seperti kamar yang sangat nyaman.

Seseorang mendekati Samantha. “Syukurlah, kau sudah sadar,” ucapnya disertai dengan senyum lega. Kemudian, ia mengalihkan pandangannya sejenak pada seseorang di belakangnya. Menaikkan mata. Isyarat bahwa ia harus segera pergi.

“Kau siapa? Dan, di kamar siapa aku sekarang?”

“Tenanglah, aku tidak akan menjahatimu. Sekarang kau ada di kamarku.”

Samantha bergumam. Lalu, semacam ada sesuatu yang berserakan di pikirannya. Tidak tahu mana yang harus ia ambil terlebih dahulu. Terlalu banyak. Terlalu banyak pertanyaan yang ada. Ia tampak melamun.

“Kata dokter yang memeriksamu, tubuhmu sangat lemah. Seperti tidak makan selama beberapa hari,” jelasnya. Samantha memasang wajah tidak percaya.

“Jadi, makanlah sekarang,” perintahnya sembari mengambil semangkuk bubur yang ada di meja samping tempat tidur. Lalu, diambilnya sesendok bubur yang masih hangat itu. Disuapkannya pada bibir mungil gadis yang tidak ia ketahui namanya.

Samantha tidak menolak. Ia merasa seperti hewan peliharaan yang taat pada majikannya. Padahal, ia tipe orang yang cukup waspada dengan orang yang baru dikenalnya.

Si penyuap bubur meletakkan mangkuk kosong itu. “Sangat lahap. Menyenangkan sekali.” Setelahnya, ia tersenyum kembali. Bagi Samantha, itu menenangkan sekali seperti ketika ia menghirup bau parfum Bvulgari Aqua favoritnya.

***

Nathan menggenggam erat tangan gadisnya yang terasa dingin. Ditatapnya juga wajah pucat itu dengan nanar. “Seharusnya aku tidak menyumpahimu,” sesalnya dengan suara serak. Tangisnya tertahan.

Suatu hari, ada seorang teman yang bercerita pada Nathan bahwa ia telah melakukan sebuah kesalahan, dan ia sangat menyesalinya. Tidak ingin menambah beban temannya, Nathan berseloroh dengan mengatakan makan saja buburnya. Means, jalani saja akibatnya. Tapi, nyatanya, sekarang Nathan tidak bisa membuktikan perkataannya sendiri. Ia tidak bisa menjalani akibat dari sumpahnya, sangat. Sumpahnya hampir menghilangkan nyawa seseorang, dan akan menjadi parasit yang akan merusak organ tubuhnya secara perlahan.

“Bangunlah, dan kumohon maafkan aku.” Nathan mencium tangan gadisnya seraya terisak. Dadanya sangat sesak. Paru-parunya seakan dipenuhi oleh rangkaian kata “KAMU BERSALAH!”

***

“Aku ingin pulang. Tapi, ke mana?” almond eyes yang mulai memerah itu menerawang dari balik jendela kaca. Dan, yang ditemui hanyalah deretan gedung pencakar langit. Lalu, running text dan aneka baliho iklan itu mengesankan bahwa sekarang adalah zaman modern. Sebenarnya, aku terlahir tahun berapa?

Seseorang berdehem di belakangnya. Samantha menoleh tanpa mengusap air matanya terlebih dahulu. Sejurus kemudian, mendekatlah seseorang itu ke arahnya. Tampak frontal, ia mencengkeram bahu gadis itu dan menatapnya lurus tanpa ampun.

“Katakan, siapa namamu, dan dari mana kau berasal?”

Samantha merasa ngeri. Lirih ia menjawab. “Namaku Samantha. Asal? Aku tidak tahu.” Ia menggeleng dengan tatapan penuh permohonan ampun.

“Kau ini picik sekali, ya? Bisa-bisanya berlaga sok hilang ingatan demi bisa masuk ke sini! Jangan sekali-sekali kau memanfaatkan kebaikan Teo,” ancamnya dengan telunjuk tangan.

Kontan tubuh Samantha seperti diikat dan dimasukkan ke dalam freezer. Ototnya mati, bahkan menjalar sampai ke bola kecil yang indah itu. Ia melotot ketakutan, dan sampai lupa bagaimana caranya bernapas. Oh, siapa saja tolonglah dia.

“Ken, apa yang kau lakukan?” Seseorang yang bagaikan pahlawan itu menjauhkan Ken yang membuat Samantha sebegitu takutnya. Bahkan, siapa saja yang melihat wajah ketakutan itu, akan tersugesti untuk melakukan hal yang sama.

“Aku tidak ingin kejadian yang dulu terulang lagi. Aku menginterogasinya,” jelas Ken meyakinkan. Ia tidak merasa berasalah sedikit pun dengan perbuatannya. Bukankah seseorang yang mempunyai trauma tertentu akan melakukan apa pun agar tidak mengalami hal yang sama?

Teo memejamkan mata sembari mengembuskan napas jengah. Yang dilakukan partner duetnya itu memang tidak salah. Tapi, ia terlalu kejam pada seorang gadis yang seperti kehilangan identitas itu. Tidakkah ia berpikir jika gadis itu bisa mati jika ia tidak menolongnya?

Teo merangkul Samantha, memiringkan kepalanya, dan tangan kanannya menghapus air mata itu.

“Aku sangat muak!” umpat Ken sambil membuang muka. Sepertinya ini akan menjadi masalah panjang, Teo membatin. Segera ia membalikkan badan lalu menarik Ken keluar kamar.

***

Teo melihat sebuah pemandangan yang mententeramkan hatinya. Beberapa saat kemudian, ia mengambil I-Phone di saku celananya. Bukankah sesuatu yang indah patut diabadikan? CKREK.

Seseorang yang mendengar suara itu tergugup dan segera menumpuk beberapa kertas, lalu ditaruhnya pensil dan penghapus di atasnya. “Sejak kapan kau di situ?” Samantha melempar pandangan pada seorang pemuda rupawan di mulut pintu.

Teo mendekati gadis itu—hingga menyisakan jarak beberapa jengkal. “Lanjutkan saja. Kau pasti merasa sangat bosan ya di kamar terus sendirian?”

Samantha mengangguk. “Aku ingin pulang. Tapi, di mana rumahku? Siapa orangtuaku? Apakah aku terlahir begitu saja?” cecarnya pada Teo dengan pertanyaan retorik. Pemuda itu tampak berpikir.

Keduanya terdiam, saling memandang. Di benak Samantha hanya ada pertanyaan dan pertanyaan yang percuma saja terus ia tanyakan. Lalu, bagaimana sebaiknya? Sementara Teo, kehadiran gadis ini sebenarnya seperti paket yang tidak ia ketahui pengirimnya, tapi ia sangat menyukainya. Atau, dalam kata lain, gadis itu sudah menjadi miliknya. Tentu saja ia enggan kehilangannya.

“Hm, boleh kulihat gambarmu?” tanya Teo sambil menunjuk kertas itu. Samantha menggeleng dan menutupinya dengan lipatan tangan.

Teo mendecak. “Kalau tidak mau, aku tidak akan membantumu pulang!” ancamnya. “Besok aku akan memanggil dokter untuk memulihkan ingatanmu.”

Samantha kalah telak. Teo telah mengeluarkan bidaknya. Dan, baiklah, akhirnya gadis itu memberikan beberapa lembar kertas pada Teo. Semua gambaran gadis itu adalah seorang perempuan cantik dengan atribut-atribut seorang peri. Teo takjub. Bukan karena bagus saja. Tapi, gambaran itu mengingatkannya pada seseorang. Gadis itu jelas tidak mengenalnya. Bagaimana ia menggambarnya? Jelas bukan perkara imajinasi saja. Bisa dikatakan ini keajaiban.

“Kau sangat berbakat!” Teo menyerahkan gambaran itu pada pemiliknya.

Samantha meletakkan kembali di atas meja. “Terima kasih.”

“Hari ini aku sudah tidak ada perform. Mau kuajak jalan-jalan? Berdua saja, kok,” tawar Teo. Dan, Samantha menyetujuinya begitu saja. Ia kegirangan.

***

“Hm, kalau begitu, aku panggil Sam saja, ya?”

“Iya, dan kau, Teo?” Samantha menatap teman duduknya sambil terus melumat es krimnya. “Ngomong-ngomong, kenapa kau berdandan seperti ini? Berusaha sedemikian rupa menyembunyikan wajahmu,” selidiknya.

Teo tertawa renyah. Kemudian, ia berbisik di telinga Samantha. “Agar tidak ada yang mengenalku. Aku seorang penyanyi jebolan ajang pencarian bakat. Ken itu partner duetku. Ku mohon habis ini jangan berteriak. Bersikaplah biasa saja padaku.”

Mata Samantha terbelalak. Bukan karena ia terkejut, tapi merasa sangat deg-degan. Bisikan Teo seperti sonata romantis yang seakan merayu hatinya.

Teo menjauh dari telinga Samantha. Ditatapnya gadis itu yang terlihat tidak baik-baik saja. Ia menggeleng. “Lanjutkan makan es krimnya.” Teo mempersilahkan. Roh gadis itu seakan masuk raganya kembali. Ada pergerakan.

Teo menunggu Samantha menghabiskan panganan manisnya. Sementara itu, diam-diam ia mengambil sesuatu di saku kemejanya. “Kau akan lebih cantik jika memakai ini. Kemarikan jarimu.”

Maksudnya? Mengapa Teo mengapit sebuah cincin dengan ibu jari serta telunjuknya? Seolah jari tengah Samantha seperti lumba-lumba yang siap melewati sebuah lingkaran dengan tepat.

“Ah, kau ini.” Teo sedikit kesal dibuat menunggu. Ia pun meraih telapak tangan gadis itu dan memakaikan cincin bermatakan berlian.

“Cincin itu hampir saja dipakai seseorang yang sangat kusayangi. Wajahnya seperti yang kau gambar tadi. Itu sebagai tanda terima kasih karena telah memvisualkan seseorang yang hampir saja aku lupa karena dia sudah tidak ada. Tapi, yang sudah tidak ada, kenapa diadakan kembali? Kaulah yang ada sekarang.” Teo berbicara sejarah, sekaligus menegaskan bahwa Samantha yang Teo pilih sekarang. Gadis itu tidak berkomentar.

***

“Aku ini orang asing, tapi kau baik sekali. Terima kasih atas semuanya.”

“Sama-sama, Nona Samantha.” Teo melempar senyum sekilas lantas berkonsentrasi kembali pada kemudi mobilnya. “Oh ya, maafkan Ken juga, ya. Dia jahat kepadamu karena dia trauma. Dulu pernah ada pekerja perempuan bagian laundry di gedung asrama yang menyelakainya karena dia anti fans.” Teman berkendara Teo mengiyakan dengan tulus.

Baru saja Samantha mengembalikan pandangannya ke depan, ia melihat hamparan cahaya yang sangat terang. Dan, mobil yang ia naiki masuk ke dalamnya. Tidak berapa lama kemudian, kendaraan itu seperti membentur sesuatu—yang tentu saja tidak Samantha ketahui karena sangat silau. Sekarang, ia merasa seperti bulu yang diterbangkan

***

Mata Nathan berbinar. Tersirat rasa syukur atas doa-doanya.

“Sam, sayang,” gumamnya setelah melihat gadisnya membuka mata.

“Nathan…” Samantha meraih tangan lelakinya. “Maafkan aku, ya. Aku memaklumi emosimu waktu itu, kok. Karena aku bisa dikatakan fanatik dengan idolaku sampai melupakanmu.” Gadis itu tertawa ringan. “Lain kali, aku tidak akan memutuskan janji padamu hanya karena melihat konser Teo.”

***

Samantha melihat perform Teo dan Ken di televisi. “Aku memang kurang suka dengan Ken karena dia terlihat angkuh. Dan, sialnya, di perjalanan rohku, dia jahat sekali padaku.” Gadis itu bersungut menatap Ken yang sedang melakukan break dance.

Penghuni kamar itu mengangkat tangannya ke udara dan ia dapati cincin yang melingkar di jari tengahnya. “Sekarang aku tahu kenapa kau selalu merahasiakan soal asmara. Teo, aku tidak akan menemuimu sekarang. Akan ada masalah besar.”

Inikah jalan Tuhan untuk memberikan pengertian padaku bahwa saat ini aku hanya harus memperhatikan Nathan? Jika pada kehidupan berikutnya aku bisa bertemu dengan Teo, apakah dia pasanganku yang abadi? Kehidupan berikutnya kekal, bukan? Entahlah, mungkin pikiranku sudah terlalu jauh. Yang jelas, aku mencintaimu, Nathan. Kau yang ada sekarang.

Setelah menuliskan sesuatu di buku diary-nya, Samantha membuka mesin pencari di I-phone-nya. Ia ketik key word “Macam-macam gangguan otak” di sana. Karena kecelakaan sepulang melihat konser itu, ia mengalami koma. Dari banyaknya macam-macam gangguan otak yang ditampilkan, ada satu yang ia rasa paling relevan dengan perjalanan rohnya.

Jamais vu (tidak pernah melihat) digambarkan sebagai sebuah situasi  sudah pernah dikenal tapi tidak bisa mengenali. Hal itu sering dianggap sebagai kebalikan dari déjà vu dan menimbulkan  perasaan ngeri dan takut. Anda tidak mengenali sebuah situasi meskipun Anda mengetahui secara rasional bahwa Anda telah berada didalam situasi itu sebelumnya. Secara umum dapat dijelaskan ketika seseorang beberapa saat tidak mengenali seseorang, kata, atau tempat yang sebetulnya  sudah diketahuinya. Ini menjadikan orang percaya bahwa jamais vu merupakan gejala dari kelelahan otak


Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun