Mohon tunggu...
Gandis Octya Prihartanti
Gandis Octya Prihartanti Mohon Tunggu... A curious human

Manusia yang sedang menumpang hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Gadis Harmonika

1 Desember 2017   13:50 Diperbarui: 1 Desember 2017   14:02 956
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ferdie menutup buku tebalnya, lalu memandang keluar dari jendela apato. Dia mendesah, tidak terasa hampir satu tahun menempuh studi pasca sarjana di negara impiannya.

Pemuda Malang itu belajar di Jepang menggunakan beasiswa pemerintah, Monbukagakusho. Sebenarnya, waktu itu dia mengurus berkas dan mendaftar bersama seorang sahabat, tapi sayang kesempatan hanya berpihak pada salah satu dari mereka.

Kekecewaan masih melekat pada diri Ferdie sampai saat ini. Alangkah menyenangkan bukan berada di tempat asing bersama seseorang yang dikenal? Maka, hari demi hari---selain menimba ilmu, dia senantiasa mendoakan gadis itu supaya bisa menyusulnya ke sini.

Universitas Tokyo menunggumu, Cel. Tahun depan kamu pasti mendapatkannya.

Sembari lengkungan itu menghiasi bibir Ferdie, langit senja menyetujui untuk memvisualisasikan delusinya akan wajah Celine.

***

"Hai, bagaimana?"                          

Ferdie terkesiap. Sikutan teman jalannya, Dio, membuyarkan lamunan. "Iya, aku jadi. Rasanya tidak lengkap kalau tidak menonton pertandingan bisbol selama di Jepang."

"Baguslah. Aku sudah telanjur memesan tiket untukmu."

Tidak lama setelah itu, ponsel Dio bergetar. Pesan dari sensei-nya di lembaga bahasa. Katanya dia ingin bertemu. Alhasil, mahasiswa asal ibukota ini tidak jadi pulang bersama. Ferdie mengiakan dengan sukarela. Toh, dia jadi leluasa melanjutkan lamunan.

Sebelum itu, Ferdie ber-untung saja lantaran fakultas ekonomi menyediakan kelas bahasa Inggris, sementara punya Dio tidak. Syukurlah, absennya masalah bahasa---terutama dari segi aksara, tidak menambah beban belajar.

Tunggu, sampai mana tadi? Ferdie membongkar ingatan terlebih dahulu. Oh, andai salju tidak hanya jatuh di Jepang bagian selatan seperti Sapporo. Maka, dia akan bermain salju bersama Celine.

Gadis itu menyukai London, selain Jepang. Negara di benua Eropa itu menyuguhkan banyak hal menarik, seperti: bangunan klasik, galeri seni, dan tempat wisata. Keinginannya untuk pergi ke sana bertambah setelah membaca novel karya Windry Ramadhina, London.

Maka, Ferdie ingin mewujudkan keinginan Celine dengan cara yang berbeda. Mereka tidak harus pergi ke sana untuk mendapatkan suasanya. Jepang---atau, lebih tepatnya Tokyo Daigaku (sebutan orang Jepang untuk Universitas Tokyo) bisa mewakili.

Todai memiliki bangunan klasik berwarna cokelat tua. Bentuknya memanjang, dengan sekat artifisial berjumlah tujuh, di mana pada bagian tengah dibuat menjulang tinggi, seperti menara. Tepat di tengah-tengah terdapat jam dinding putih raksasa. Tidak seklasik Big Ben, sayangnya. Sederhana saja. Lalu, taburan kaca yang disusun secara vertikal secara ajaib menciptakan ilusi optik jika memandangnya dari jauh. Universitas top ini tidak ubahnya Coloseum yang memiliki banyak pilar.

            Menarik sekali.

            Ferdie sudah keluar dari area kampus. Dia berjalan ke arah selatan, tempat apato-nya berada. Meski tidak terlihat seperti orang melamun, yang ada di pikiran hanya tentang bagaimana kegembiraan Celine saat akhirnya bisa menginjakkan kaki di Todai. Gadis itu pasti menyukai halamannya yang hijau, super luas, dan rindang. Pun jalan setapak bersemen di hadapan universitas. Itu adalah spot terbaik untuk mengambil foto.

            Ferdie memutar kenop pintu. Dia cekikikan lantaran teringat hobi berfoto Celine. Butuh berapa kali foto ya bagi gadis itu untuk merayakan keberhasilannya? Pikir Ferdie. Apalagi Todai tampak lebih menawan kalau dilihat secara langsung, bukan melalui internet.

            Sebagai penerima beasiswa, Ferdie membuat jadwal kegiatan sehari-hari dan kalau tidak ada halangan harus ditaati agar waktu belajarnya tidak amburadul. Saat sore menjelang magrib seperti ini adalah hiburan. Menonton teve, membaca novel, menulis fiksi, apa saja. Namun, ternyata kali ini bukan itu semua. Chitanda, teman sekelas, baru saja mengirim pesan. Katanya dia mau bertemu di apato untuk mengembalikan buku dan berdiskusi soal materi kuliah yang disinyalir sebagai yang tersulit.

            Ngomong-ngomong Chitanda, karena kesamaan huruf depan, Ferdie jadi ingin menyapa Celine sebentar lewat video call. Sial, niat itu berakhir tanpa eksekusi setelah dia teringat kalau terakhir kali gadis itu memberi kabar, katanya sedang dirawat di rumah sakit lantaran terlalu capai dan membuat maag akut itu kambuh.

            Bukankah aku juga sedang puasa bermain media sosial, karena kesibukan research student yang luar biasa? Baiklah, biar Celine saja yang menghubungiku dulu. Aku tidak ingin mengganggunya.

***

            Ferdie merasa begitu aneh hari ini. Sepanjang kuliah dari jam pertama sampai terakhir, dia terus teringat Celine, sehingga konsentrasinya dalam belajar terganggu. Untungnya, tidak ada adegan dosen-bertanya-lalu-kamu-malu-karena-ketahuan-melamun.

            Aku harus segera pulang dan menghubunginya, batin Ferdie seraya berjalan cepat. Dia tidak mau kalau saja ada kabar buruk dan terlihat hancur di kampus.

            Kurang dari lima menit, anak tengah dari enam bersaudara itu mencapai jalan setapak bersemen. Meski sedang musim dingin, keringat jagung menyembul dari dahinya. Adrenalin benar-benar terpacu.

            Beberapa detik lalu, Ferdie mendengar suara lamat harmonika dan dia tidak acuh akan hal itu. Dia hanya ingin segera sampai di apato. Namun, ketika akhirnya si pemain tampak di depan mata, terduduk di kursi besi panjang, tanpa bisa dikontrol, dia menghentikan langkah.

            Pemain harmonika itu adalah seorang gadis dengan potongan rambut tanggung dan berponi pagar. Bermata bayi, berhidung kecil-mancung, dan jingga proporsional di bibirnya.

            "Ki-kan?" tanya Ferdie lebih pada dirinya sendiri, lirih.

            Untuk saat ini, pikiran Ferdie tentang Celine lenyap begitu saja. Dia tidak bisa mengalihkan perhatian dari Kikan. Dengan jantung yang berdegub kencang dan sesekali dadanya berdesir, dia kesulitan untuk pergi. Permainan harmonika itu seperti lumpur isap yang tidak mengizinkannya lolos.

            Ferdie menjelma patung. Dia berdiri dengan kaku dan kelihatan nyaris tidak bernapas. Kenapa bisa ada Kikan di sini? Tanyanya dalam hati berulang kali.

            "Ferdie?"

            Si empunya nama berbalik badan. "Iya?"

            "Daijoubu?" tanya Dio khawatir.

           Ferdie mengerjapkan-ngerjapkan mata seperti orang bangun tidur. Dia merasa seperti keluar dari dunia mimpi. "Iya, aku baik-baik saja. Ada apa?"

            Dio mengangsurkan dua buah tiket pertandingan bisbol. Katanya, satu untuk Ferdie dan sisanya untuk siapa saja, karena itu bonus. Lalu, setelah acara berterimakasih selesai, Dio mengajak pulang. Namun, sebelum mengiakan, Ferdie membalikkan badan lagi. Kikan

            ...tidak ada lagi di tempat. Yang lebih mengherankan, kenapa Dio tidak menyinggung permainan harmonika itu, seolah-olah dia tidak melihatnya?

***

            Niat Ferdie untuk menghubungi Celine lagi-lagi berakhir. Keluarganya dan bahkan keluarga gadis itu tidak memberi kabar apa pun, jadi firasat buruk itu tidak terbukti. Mungkin rindu sedang membuat gara-gara.

            Setidaknya, pertandingan bisbol mengalihkan sejenak pikiran Ferdie. Dia bersorak untuk menyemangati klub jagoan. Selepas itu, bersama teman-teman dia makan di restoran Jepang sampai kenyang. Singkatnya, ini Minggu yang menyenangkan.

            "Sampai jumpa," balas Ferdie pada Dio yang sampai terlebih dulu di apato. Sekarang pemuda ini tidak ada teman jalan sama sekali.

            Tempat singgah Ferdie berada di dekat perempatan. Jalannya cukup lebar, tapi tidak terlalu ramai dilewati kendaraan. Alhasil, kesenyapan ini yang membuat pendengarannya leluasa menangkap bunyi lamat---harmonika.

            Ini sulit dipercaya, batin Ferdie. Kikan! Gadis itu terduduk di kursi kayu berserat yang ada di samping apato! Seakan dunia hanya miliknya, dia bahkan tidak acuh pada siapa pun. Permainan harmonika itu sudah merenggut kewarasan.

            Setelah menimbang-nimbang, Ferdie memutuskan untuk mendekat. Dia harus memastikan apakah penglihatannya benar atau sekadar imajinasi. Sayangnya, baru dapat selangkah, segerombol anak kecil bersepeda memblokade jalan.

            Satu kata yang tepat untuk menggambarkan Kikan saat ini adalah: debu. Angin yang diciptakan para bocah itu melenyapkannya. Ferdie melongo.

***

            Astaga! Lama-lama aku bisa gila, gerutu Ferdie dalam hati. Seminggu penuh dia melihat Kikan di mana-mana bersama harmonikanya. Siklus yang sama terjadi. Ketika hendak mendekat, ada halangan, lalu gadis itu menghilang dengan mudahnya.

            Ferdie mulai berspekulasi. Mungkinkah Kikan bukan gadis biasa? Lalu, apa ada sangkut pautnya dengan Celine?

            Kepala Ferdie rasanya mau pecah. Pikiran sudah terlalu bercabang. Maka, dia putuskan untuk segera tidur meski tugas belum selesai. Mengerjakannya lagi ketika shubuh adalah jalan terbaik.

            Pagi-pagi benar ponsel Ferdie bergetar, ada pesan singkat masuk. Dia tersenyum lega saat membacanya. Kuliah jam pertama dengan tugas setumpuk itu ditiadakan hari ini, karena sensei ada konferensi di Amerika. Baguslah. Dia lalu melanjutkan tidur.

            Matahari mulai muncul di Jepang pukul sembilan. Sinar yang menembus tirai tipis kamar Ferdie membuat tidurnya terganggu. Pun bel apato yang samar terdengar. Ketika kesadaran itu penuh, dia memutuskan untuk membukakan pintu, karena ternyata semua teman sewanya sudah tidak ada.

            Begitu pintu terbuka, sosok yang dikenal Ferdie menyunggingkan senyum dan mengucapkan halo. Kak Chandra! Setelah adegan berpelukan usai, dia mempersilakan calon kakak iparnya itu masuk.

***

            Kedatangan kak Chandra digunakan Ferdie untuk menolak ajakan diskusi teman sekelasnya. Membiarkan dia sendiri terlalu lama di apato tidak baik. Lagi pula, sebelum berangkat kuliah, pria bertubuh atletis itu berpesan padanya untuk segera pulang, karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan.

Selepas magrib, mereka pun pergi ke kafe yang tidak jauh dari apato.

            "Kamu pasti bertanya-tanya tentang kedatanganku." Chandra memberi epilog setelah pesanan mereka datang. "Nah, bacalah surat ini dulu." Dia mengambilnya dari saku jas, lalu diangsurkan pada Ferdie.

            Ferdie mulai membaca. Belum ada perubahan ekspresi yang signifikan. Lalu, ketika mencapai pertengahan, mata itu berkaca-kaca. Klimaksnya, dia menaruh surat di meja, lantas menatap Chandra tidak percaya sambil bulir bening itu keluar tanpa ampun.

            "Kenyataannya seperti itu," ucap Chandra dengan suara bergetar. "Celine meninggal dua minggu lalu." Dia berhenti sesaat untuk menyetabilkan diri. "Maafkan keinginannya yang tidak ingin memberitahumu lewat telepon."

            Ruangan kafe terasa berputar-putar di mata Ferdie. Selain karena ternyata Celine juga menyukainya, gadis itu melakukan hal luar biasa, bahkan setelah kematian.

            Ferdie sangat menyukai satu karakter di novel Celine yang belum rampung. Sebagai permintaan maaf, gadis itu mengutus seorang malaikat untuk memvisualisasikannya.

            Kata pak ustaz, kelima malaikat yang menjaga manusia bertemu pada waktu ashar dan shubuh. Ferdie tiba-tiba mengingat hal ini. Maka, spekulasinya kini terbukti. Kikan selalu muncul saat sore.

            Cel, kalau bertemu lagi dengan Kikan, aku akan berterimakasih padanya. Ferdie tersenyum.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun