***
      Astaga! Lama-lama aku bisa gila, gerutu Ferdie dalam hati. Seminggu penuh dia melihat Kikan di mana-mana bersama harmonikanya. Siklus yang sama terjadi. Ketika hendak mendekat, ada halangan, lalu gadis itu menghilang dengan mudahnya.
      Ferdie mulai berspekulasi. Mungkinkah Kikan bukan gadis biasa? Lalu, apa ada sangkut pautnya dengan Celine?
      Kepala Ferdie rasanya mau pecah. Pikiran sudah terlalu bercabang. Maka, dia putuskan untuk segera tidur meski tugas belum selesai. Mengerjakannya lagi ketika shubuh adalah jalan terbaik.
      Pagi-pagi benar ponsel Ferdie bergetar, ada pesan singkat masuk. Dia tersenyum lega saat membacanya. Kuliah jam pertama dengan tugas setumpuk itu ditiadakan hari ini, karena sensei ada konferensi di Amerika. Baguslah. Dia lalu melanjutkan tidur.
      Matahari mulai muncul di Jepang pukul sembilan. Sinar yang menembus tirai tipis kamar Ferdie membuat tidurnya terganggu. Pun bel apato yang samar terdengar. Ketika kesadaran itu penuh, dia memutuskan untuk membukakan pintu, karena ternyata semua teman sewanya sudah tidak ada.
      Begitu pintu terbuka, sosok yang dikenal Ferdie menyunggingkan senyum dan mengucapkan halo. Kak Chandra! Setelah adegan berpelukan usai, dia mempersilakan calon kakak iparnya itu masuk.
***
      Kedatangan kak Chandra digunakan Ferdie untuk menolak ajakan diskusi teman sekelasnya. Membiarkan dia sendiri terlalu lama di apato tidak baik. Lagi pula, sebelum berangkat kuliah, pria bertubuh atletis itu berpesan padanya untuk segera pulang, karena ada sesuatu yang perlu dibicarakan.
Selepas magrib, mereka pun pergi ke kafe yang tidak jauh dari apato.
      "Kamu pasti bertanya-tanya tentang kedatanganku." Chandra memberi epilog setelah pesanan mereka datang. "Nah, bacalah surat ini dulu." Dia mengambilnya dari saku jas, lalu diangsurkan pada Ferdie.