Kurudi menatap Lopa lama, lalu menyunggingkan senyum tipis. "Tentang kamu, Nak. Sepertinya Tuhan sedang cemburu padamu. Ada tiga pasal yang saya perdebatkan dengan-Nya."
Lopa merapatkan duduknya, tubuhnya tegak, matanya berbinar. Ia sudah terbiasa berhadapan dengan hakim, jaksa, dan penjahat kelas kakap. Tapi kali ini, ia seperti murid kecil yang menunggu gurunya bercerita.
Namun Kurudi sengaja menunda. Ia mengisap rokoknya dalam-dalam, lalu menoleh ke arah salah seorang perempuan di rumah.
"Ambilkan satu kaos baru untuk Puaq," ujar Lopa tiba-tiba, seolah ingin menyiapkan hadiah untuk penutur kisah yang sedang menegangkan suasana.
Kurudi terkekeh kecil, lalu berkata, "Sabar dulu, Nak. Biar saya habiskan rokok ini." Asap mengepul dari bibirnya, lalu ia mulai.
"Pasal pertama," katanya pelan namun tegas, "Tuhan berkata padaku: kasih tahu itu Baharuddin Lopa, dia tidak tahu diri. Dia terkenal jujur, padahal kejujuran itu dari Aku."
Lopa menunduk sedikit, tangannya sigap mencatat di buku kecil yang selalu ia bawa.
"Pasal kedua," lanjut Kurudi, suaranya semakin dalam, "Tuhan berkata: kasih tahu itu Baharuddin Lopa, dia suka memberi (malawo). Padahal sifat dermawan itu dari Aku."
Kali ini Lopa mengangkat wajahnya. Ada sinar yang lembut di matanya, antara kagum sekaligus tertohok.
"Dan pasal ketiga," Kurudi menarik napas panjang, menahan sebentar, lalu mengembuskan asap terakhir, "Tuhan berkata: kasih tahu itu Baharuddin Lopa, dia sangat pemberani ketika dikeroyok banyak orang, padahal keberanian itu pun berasal dari Aku."
Setelah kata-kata itu meluncur, ruangan menjadi hening. Hanya bunyi detak jam dinding yang terdengar. Lopa terdiam, lalu perlahan tersenyum. Senyum lirih yang lahir dari kesadaran mendalam, bahwa dirinya bukan siapa-siapa, selain sarana bagi sifat-sifat Tuhan bekerja di dunia.