Sanrego Bone---"Gaya bebas!"-begitu teriak sang kameramen setiap kali sesi foto berakhir.
Sekilas terdengar sepele, tapi sebenarnya dua kata itu menyimpan filosofi kepemimpinan yang menarik.
Saya selalu suka momen itu. Setelah semua orang menata diri rapi, menegakkan punggung, dan menahan senyum kaku di depan kamera, muncullah instruksi magis itu: "Sekarang gaya bebas ya!"
Dan tiba-tiba suasana berubah. Tawa pecah. Guru yang biasanya serius jadi iseng mengacungkan jempol, operator sekolah ikut melipat tangan gaya superhero, sementara saya,ya ikut bersantai juga, menurunkan sedikit wibawa, tapi justru menaikkan keakraban.
Dalam momen seperti itu, saya belajar bahwa kepemimpinan tidak selalu tentang menjaga jarak, tapi tentang membangun kedekatan.
Kepala sekolah memang harus bisa mengarahkan, mengatur, dan memastikan semuanya berjalan sesuai aturan. Tapi ia juga perlu tahu kapan saatnya melepas dasi simbolik kekuasaan itu sejenak dan menjadi bagian dari tawa bersama timnya.
Hubungan harmonis dengan guru dan tenaga kependidikan tidak lahir dari instruksi, melainkan dari interaksi.
Kita bisa membuat surat tugas yang rapi, jadwal yang disiplin, dan aturan yang lengkap. Tapi tanpa kehangatan dan rasa saling percaya, semua itu terasa seperti mesin tanpa pelumas.
"Gaya bebas" menjadi metafora sederhana untuk gaya kepemimpinan yang lentur---tegas saat dibutuhkan, tapi manusiawi saat bersama.
Di balik setiap tawa itu, saya melihat semangat kerja tim yang tumbuh karena rasa dihargai, bukan karena takut. Dan di situlah sekolah menjadi tempat yang benar-benar hidup: tempat di mana setiap orang merasa diperhatikan, bukan hanya diatur.
Sebagaimana kata John C. Maxwell,
"People don't care how much you know until they know how much you care."