Mohon tunggu...
Hamid Anwar
Hamid Anwar Mohon Tunggu... Administrasi - PNS Kelurahan

Pegawai kantor yang santai, sambil mengelola blog pribadi http://hamidanwar.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Mengenang Kyai Hamam yang Fenomenal dari Pabelan

22 Oktober 2020   08:34 Diperbarui: 22 Oktober 2020   09:26 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Suasana Shalat Hari Raya di Masjid Pondok Pabelan pada Tahun 80an (dok : akdn.org)

Secara pribadi, saya tidak pernah bertemu apalagi kenal dengan Kyai Hamam karena ketika beliau wafat, usia saya masih empat tahun. Saya mendengar cerita -- cerita tentang beliau dari orang tua saya, dan juga dari tetangga-tetangga. Ditambah lagi saya juga bukan alumni Pondok Pabelan, yang notabene adalah Pesantren yang didirikan Kyai Hamam. Saya sebatas warga desa yang kebetulan tinggal di belakang pondok, itu saja.

Tapi beberapa tahun belakangan ini, timbul rasa penasaran bagaimana sebenarnya kisah dan kiprah beliau semasa hidup. Tulisan ini, bukan bentuk penelitian saya secara langsung, tetapi hasil mendengar, membaca buku buku tentang Kyai Hamam dan Pondok Pabelan,  yang membuat saya terperangah dan takjub serta menaruh hormat yang besar kepada beliau. Ternyata sosok yang oleh warga desa setempat, termasuk saya lebih akrab dipanggil dengan 'Pak Hamam' - tanpa embel embel kyai -- tersebut memiliki kepribadian, wawasan, dan pemikiran-pemikiran yang sangat menarik dan inspiratif.

*

Hamam Muda dan Pondok Pabelan

Terlahir di Desa Pabelan, Mungkid Kabupaten Magelang dengan nama Hamam Dja'far, putera dari pasangan Kyai Dja'far dan Nyai Hadidjah ini lahir pada hari Sabtu Pahing, 26 Februari 1938. Setelah menamatkan pendidikan Sekolah Rakyat di desanya, ia melanjutkan ke Sekolah Menengah Islam Pertama di Muntilan sebelum akhirnya mondok di Pondok Modern Gontor selama kurang lebih 11 tahun.

Potret KH. Hamam Dja'far (dok : pabelan.or.id)
Potret KH. Hamam Dja'far (dok : pabelan.or.id)

Selama mengikuti pendidikan di Gontor, Hamam muda mendapatkan pengasuhan langsung dari 'Trimurti' Pondok Gontor yaitu KH. Ahmad Sahal, KH Zainuddin Fanani, dan KH. Imam Zarkasyi. Selama itu pula, Hamam mendapatkan pembelajaran baik bersifat akademis maupun non akademis, meski kenyataannya pembelajaran non akademis lebih banyak porsinya.

Sepulang 'nyantri' di Gontor, Ustad Hamam mengantongi ijazah dari Kyai Gontor untuk mendirikan pesantren. Untuk itu dengan kebulatan tekadnya, ia bergegas untuk mendirikan pondok di Pabelan. Bukan tanpa sebab, karena inipun dilakukan mengingat dahulunya di Pabelan pernah ada pusat pengajian yang dikelola secara tradisional oleh leluhurnya.

Ketika itu, kondisi masyarakat Desa Pabelan pada umumnya adalah masyarakat yang miskin, dengan pekerjaan utama adalah petani dan dengan mental 'nerimo' sehingga tingkat ekonomi maupun pendidikan masyarakatnya terbilang rendah. 

Ustad Hamam tampil dengan gebrakan membuka wadah bagi pemuda dengan nama Persatuan Pemuda Pabelan (PPP) yang kegiatan utamanya adalah kajian tasawuf modern yang diadakan setiap malam sabtu di serambi Masjid. 

Hamam juga merangkul kalangan tua dengan mengumpulkannya pada organisasi Pemelihara Tradisi Islam Pabelan (PTIP) yang lebih condong kepada usaha menjaga tradisi-tradisi Islam dengan kajian umum tiap malam selasa.

Hingga akhirnya, pada Sabtu Pahing, 28 Agustus 1965, saat itu usia Ustad Hamam baru menginjak 27, ia dengan resmi mendirikan Pondok Pabelan. Sebuah plang dari kayu bertulis "Balai Pendidikan Pondok Pabelan, Pabelan, Magelang, Indonesia".  Papan kayu tersebut ia pasang di depan rumahnya, yang berada di sebelah selatan masjid.

"Istilah 'Balai Pendidikan' kala itu terdengar sangat asing bagi masyarakat. Karena gambaran Pondok pada tahun tahun 70an, adalah sebuah lembaga pendidikan yang isinya hanyalah mengaji kitab kitab klasik sebagaimana pondok salafi. 

Pun juga penggunaan istilah "Indonesia" di mana masyarakat setempat masih sangat awam, pengetahuan warga desa masih sebatas tentang sawah, desa kemudian tiba tiba timbul bayangan sebuah istilah 'Indonesia' yang terbayang terlalu tinggi untuk mereka gapai" demikian kisah yang diceritakan oleh Prof. Komaruddin Hidayat, mantan Rektor UIN Syarif Hidayatullah dalam memorinya yang merupakan salah satu dari 35 santri pertama Kyai Hamam dari desa setempat.

Ancient Room, bangunan asrama pertama Pondok Pabelan yang berada di seberang Masjid (dok : akdn.org)
Ancient Room, bangunan asrama pertama Pondok Pabelan yang berada di seberang Masjid (dok : akdn.org)

Pandangan Kyai Hamam yang moderat, menjadi tantangan tersendiri ketika gagasan itu muncul di era 70an. Keputusan Kyai Hamam untuk menyelenggarakan pendidikan pondok 'campur' (campur pondok putra putri) contohnya. Oleh sebagian Kyai lokal dianggap sebagai sebuah ketidakpatutan. 

Kemudian kenetralan dari kecenderungan Muhammadiyah atau NU, dan menerima tamu tamu dari kalangan non-muslim misalnya, juga menjadi hal yang 'kala itu' kurang lazim. Namun, memang disitulah ternyata kekuatan Kyai Hamam. 

Bagaimana beliau bisa memadupadankan antara tradisional dan modern, mengajarkan toleransi dalam beragama, dan sanggup merangkul santri serta masyarakat dalam usaha melakukan pendidikan masyarakat secara umum.    

Suasana kegiatan belajar santri putri tahun 80an (dok : akdn.org)
Suasana kegiatan belajar santri putri tahun 80an (dok : akdn.org)

Kyai tidak pernah memaksakan paham tertentu kepada santrinya. Bahkan, kepada wartawan atau orang tua santri yang kerap bertanya perihal kecenderungan aliran pondok, dengan enteng Kyai Hamam menjawab bahwa Pondok Pabelan berpaham MuhammadiNU. 

Sudah barang biasa, ketika santri dibebaskan untuk ikut atau tidak mengkaji kitab kitab klasik secara berkelompok, atau dibebaskan ketika santri ingin shalat tarawih 8 atau 20 rakaat. Ingin qunut atau tidak saat shalat subuh. Semua dibebaskan sesuai dengan keyakinan masing-masing santri. 

Di saat itu ketika silang budaya antara Muhammadiyah dan NU melebar, Kyai Hamam tampil sebagai sosok yang berada di tengah. Alih-alih berkutat pada perbedaan dalam hal kecil, ia ingin menyampaikan bahwa substansi Islam sebenarnya adalah bagaimana mengimplementasikan Islam dalam hidup dan keseharian kita.

Contoh lain tentang pandangannya yang menarik adalah ketika beliau mengajak beberapa santrinya ke Sungai Pabelan dan ia berujar :

"Batu-batu itu, belum Islam seutuhnya apabila ia belum digunakan untuk membangun Pondok sebagai sarana belajar, atau ia diambil dan dijual dan uangnya dipergunakan untuk keperluan belajar"

Sosok Yang Terbuka

Dari beberapa informasi yang saya baca, Kyai Hamam adalah sosok yang humoris. Seperti kejadian berikut ini :

"Suatu hari, seorang wartawan datang hendak mewawancara Kyai Hamam. Ketika itu, Kyai menyapa dengan sapaan : Halo baju kuning, selamat sore.. Seketika wartawan itu terkejut dan ingin meyakinkan diri : Benarkah, dengan Haji Hamam? Dengan santai Kyai menjawab : Ya tidak salah. Sayalah Hamam"

Atau di lain waktu,

"Seorang pensiunan ABRI yang juga Rektor UNS malam itu ingin bertamu ke rumah Pak Kyai. Tetapi, setelah berkeliling kompleks pesantren, Pak Kyai tidak juga ditemui. Padahal, malam itu Pak Kyai juga tidak ada jadwal keluar. Ternyata usut punya usut Pak Kyai tengah berada di tepian kolam renang milik pondok di pojok desa, yang hampir jadi pembangunannya.

"Gendheng, kowe.. dewean nang kene? (Gila kamu, sendirian disini?) tanya Pak Rektor

"Lha kowe ki sing gendheng lha wong aku nang kene karo jangkrik, kodok, musik alam iki (Lha kamu itu yang gila.. lha wong saya disini sama jangkrik dan kodok, musik alam ini)"

Seketika mereka tertawa terbahak-bahak.

Kyai Hamam sering berujar, Pondok Pabelan adalah milik siapa saja yang mau datang dan mencari ilmu. Sosoknya yang terbuka, serta pengelolaan pesantren yang bisa dibilang 'tampil beda' kala itu, menjadikan orang ingin datang dan berkunjung karena penasaran. 

Satu dari sekian keunikan pondok adalah dengan tidak adanya sekat pembatas antara kompleks pondok dan masyarakat sekitar. Menurutnya, masyarakat adalah tempat belajar bagi para santri, dan pondok adalah juga tempat belajar untuk warga masyarakat.

Salah satu kebiasaan Kyai Hamam adalah mengobrol hingga larut malam. Tamu-tamu yang diantaranya adalah tokoh penting kala itu, seperti Romo Mangunwijaya, Dawam Rahardjo, WS Rendra, merupakan sebagian dari orang yang pernah mengalami masa-masa mengobrol dengan Kyai Hamam di malam hari. Bahkan, ia juga penah menjadi pemain film 'Al Kautsar' yang mengambil setting di Pondok Pabelan dengan tokoh utama WS Rendra. Kala itu, sampai-sampai ia dijuluki sebagai Kyai artis.

Dalam beberapa tulisan, disebutkan Kyai Hamam terbiasa memakai pakaian casual seperti celana panjang putih, dipadu dengan kemeja panjang tanpa dasi. Dan hanya memakai peci ketika acara resmi saja. Jauh dari kesan Kyai kala itu yang biasanya identik bersarung dan bersurban.

**

Penghargaan Aga Khan Award dan Kalpataru

23 Oktober 1980, bertempat di panggung Taman Shalimar, Lahore. Kyai Hamam adalah salah satu dari tiga orang Indonesia yang dipanggil naik ke panggung. Setelah menerima piagam dan piala, Kyai Hamam mengangkat tinggi-tinggi dan disambut oleh gemuruh tepuk tangan.

Malam itu, ia menerima penghargaan arsitektural dari Aga Khan Award atas prestasinya dalam pengelolaan fisik dan non fisik pesantren berbasis masyarakat.

Suasana bangunan kelas yang sederhana menggunakan material lokal dan memperhatikan kelestarian lingkungan (dok : akdn.org)
Suasana bangunan kelas yang sederhana menggunakan material lokal dan memperhatikan kelestarian lingkungan (dok : akdn.org)

Menurut literatur yang saya temui, Pondok Pabelan menjadi salah satu pemenang dalam penghargaan internasional itu karena juri tertarik pada beberapa hal diantaranya : fisik bangunan pesantren yang menggunakan bahan bahan yang bersifat lokal seperti batu sungai, kayu-kayuan, dan dengan mempertahankan kekhasan bangunan asli setempat, serta pelibatan masyarakat dalam usaha -- usaha pembangunan pondok. 

Yang kedua adalah kekuatan filosofi pembangunan pondok yang diawali dengan pembangunan Perpustakaan di sisi timur menghadap ke lapangan olahraga. Dimaksudkan bahwa orang hidup harus dimulai dengan belajar, untuk menghadapi 'lapangan' tantangan kehidupan.

Di sebelah barat lapangan, berdiri masjid tua yang merupakan pusat kegiatan peribadatan pondok. Dikandung maksud bahwa manusia kemanapun mengarungi kehidupan, maka bermuaranya adalah hanya ibadah kepada Allah. Dan tepat dibelakang masjid, adalah pemakaman sebagai simbol bahwa akhir dari kehidupan dunia ini adalah kematian.

Saya yakin bahwa gagasan-gagasan Kyai Hamam semasa hidupnya sangat visioner, yang pada akhirnya adalah bertujuan untuk pembangunan manusia dan masyarakat seutuhnya. Sementara pondok hanyalah alat untuk mencapainya. 

Dalam beberapa informasi yang saya baca, pondok ini pada masa keemasannya (sekitar tahun 1970-1980an) bahkan sampai memiliki ternak kambing ettawa, dan juga memiliki teknologi pengairan yang maju, yaitu dengan mengalirkan air dari sungai Pabelan, menuju ke lingkungan Pondok yang secara kontur berada lebih tinggi. Air ini kemudian dialirkan ke kolam kolam yang selain sebagai penambah keindahan dan keasrian lingkungan, juga berfungsi untuk ternak ikan.

Kolam ikan yang ada di sekitar asrama santri putri tahun 80an (dok : akdn.org)
Kolam ikan yang ada di sekitar asrama santri putri tahun 80an (dok : akdn.org)

Kyai Hamam selain cerdas dalam bidang agama, juga sangat menginspirasi dalam  tata kelola lingkungan. Pada tahun tahun itu, santri pondok berasal dari seluruh wilayah Indonesia, bahkan pernah tercatat ada santri juga yang berasal dari Thailand. 

Kala itu, Kyai Hamam sering meminta santrinya ketika masuk pondok, hendaknya membawa bibit tanaman yang berasal dari tempat tinggalnya. Hingga saat ini, berbagai tanaman khas nusantara masih bisa kita temui di lingkungan pondok seperti Kunto Bimo, Karet Kebo, dan Matoa. Selain itu, tepat di depan rumah saya. 

Saya juga menjumpai sebuah kolam yang merupakan kolam 'pemurni' air limbah. Jadi, seluruh air buangan pondok (dari dapur maupun kamar mandi) semua akan terkumpul ke kolam ini, dan dikolam ini, air limbah di'bersihkan' dengan bantuan eceng gondok. Sehingga air yang mengalir ke lingkungan setelahnya menjadi relatif bersih. Tidak heran rasanya kalau Pondok Pabelan juga menerima penghargaan Kalpataru dari Pemerintah kala itu dalam usaha pelestarian lingkungan.

**

Akhir Hayat Kyai Hamam

Tanggal 22 Ramadhan, bertepatan dengan bulan Maret 1993, kabar duka datang dari Pondok Pabelan. Kyai Hamam menghembuskan nafas terakhir karena sakit. Dari beberapa kesaksian, diceritakan bahwa penurunan kondisi fisik Kyai Hamam disebabkan salah satunya karena pola hidup seperti gemar merokok, menyantap daging kambing, begadang hingga larut malam, dan jarang berolahraga.

Pondok Pabelan, sepeninggal Kyai Hamam diteruskan oleh adik beliau KH. Ahmad Mustofa dan Putra Kyai Hamam, yaitu KH. Najib Amin. Hingga saat ini, semangat pembaruan dan semangat keterbukaan yang pernah digelorakan Kyai Hamam masih terasa pada kegiatan-kegiatan yang diadakan pondok seperti ; pelajaran pidato tiga bahasa, seni musik dan pentas seni, pagelaran seni budaya, kegiatan drum band, pramuka, dan lain lain. Secara aktif masyarakat sekitar pondok juga menjadi bagian dari 'santri' pondok dengan ikut serta menyimak kajian-kajian umum.

Saya yakin, sekarang Kyai Hamam telah tenang berada di kampung Ilahi, dan kita semua pun pasti akan menyusulnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun