Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Menyoal Desain Konstitusional Pembaharuan Hukum dalam Revisi UU Minerba

23 September 2020   12:10 Diperbarui: 23 September 2020   12:12 152
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi (source: m.mediaindonesia.com)

Konsep penguasaan negara atas sumber daya mineral dan batubara (Minerba) di Indonesia didasarkan atas Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, yakni "Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan sebesar-besarnya kemakmuran rakyat". Pasal 33 ayat (3) menjadi doktrin penguasaan negara dan sekaligus menjadi landasan filosofi dan yuridis pengelolaan sumber daya alam di Indonesia (Ahmad Redi, 2014:6).

Suatu peraturan perundang-undangan yang ideal adalah peraturan yang di dalamnya terdapat jiwa bangsa dan sesuai dengan semangat Pancasila dan Konstitusi. Hal ini menuntut setiap pembaharuan hukum dalam pembentukan peraturan perundang-undangan haruslah sesuai dengan desain konstitusional.

Dikutip dari Kompas.com bahwa revisi UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Minerba resmi disahkan menjadi UU pada sidang Paripurna DPR RI (Selasa, 12 Mei 2020). Namun  dalam revisi UU Minerba tersebut ada beberapa point yang perlu di soroti, point tersebut diantaranya yakni terkait perizinan, aspek pertanggungjawaban dan perlindungan hak asasi warga negara.

A. Aspek Perizinan

Terkait izin, salah satu hal yang perlu disoroti dalam revisi UU Minerba yakni terkait wilayah dan izin pertambangan rakyat yang semula disyaratkan digarap minimal 15 tahun, dihilangkan. Hal ini dikhwatirkan Pemerintah akan semakin mudah untuk menetapkan suatu kawasan sebagai WPR dan akan menjadi sumber uang ilegal baru bagi pejabat dan aparat keamanan serta peluang bagi korporasi merendahkan tanggung jawab dengan menggunakan WPR.

Selanjutnya penambahan Pasal 40 ayat (1) huruf a soal pemegang IUP yang bisa mempunyai lebih dari satu IUP dalam satu provinsi dengan komoditas tambang yang sama, akan menimbulkan kekhawatiran terjadinya obral IUP dengan batas luasan yang tidak relevan. Kemudian ayat 3 yang menyatakan pemegang IUP yang hendak mengusahakan mineral lain wajib mengajukan permohonan IUP baru kepada menteri atau pemda. 

Hal tersebut akan membuka ruang memformalkan mineral dengan mempermudah dan melegalkan menjual seluruh sumber daya alam dan mendapatkan rentenya. Serta, Pasal 42 yang menyatakan izin usaha eksplorasi bisa sekaligus satu kali tanpa pemisahan jangka waktu. Hal ini memungkinkan penguasaan lahan skala besar oleh perusahaan tambang setidaknya delapan tahun. Potensi inilah yang nantinya dikhawatirkan akan menggerus hak-hak masyarakat adat berkaitan dengan lahan kepemilikan tanah dan lainnya.

B. Aspek Pertanggungjawaban dan Perlindungan terhadap Hak Asasi Warga Negara

Terkait aspek pertanggungjawaban, adanya penghilangan Pasal 165 dalam revisi UU Minerba yang mengatur pidana bagi pejabat yang mengeluarkan izin bermasalah karena menyalahgunakan kewenangan dengan sanksi pidana paling lama 2 tahun dan denda Rp 200 juta. Sejatinya dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, harus terdapat suatu norma berkaitan dengan sanksi pidana sebagai "Tanden van het recht" atau taringnya hukum (Sulasmini, S. Penegakan Hukum Pidana terhadap Pelaksanaan Amdal, Jurnal Nestor Magister Hukum, 2 (2)).

Sejalan dengan ungkapan  Hans Kelsen, bahwa dalam sebuah negara hukum yang menjadikan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi, hukum tidak lain merupakan norma utama yang mengandung sanksi di dalamnya (HLA Hart, 1981:35).  Maka pemberian sanksi pidana seharusnya tidak boleh dihapus agar tidak semakin banyak penyalahgunaan wewenang dan pelanggaran yang dapat mencederai hak asasi warga negara. Namun kenyataannya dalam revisi UU Minerba, Pasal 165 yang mencantumkan sanksi pidana justru malah dihilangkan.

Kemudian terdapat perubahan pada bagian penjelasan Pasal 99 ayat 2 tentang peruntukan lahan pascatambang bisa digunakan untuk bangunan irigasi dan obyek wisata. Bila mengacu kepada frasa "bisa", maka alih fungsi lahan pasca tambang sebagai bangunan irigasi dan objek wisata bukan menjadi sebuah keharusan. Sehingga ada indikasi pengusaha tambang akan lepas tangan karena frasa "bisa" mengacu pada definisi bisa ia dan bisa tidak. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun