Mohon tunggu...
Fathul Hamdani
Fathul Hamdani Mohon Tunggu... Penulis - Pembelajar

Tak penting dimana kita terhenti, namun berikanlah penutup/akhir yang indah

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Protect or Attack: Nasib Jurnalis di Negara Konflik

8 Agustus 2020   12:16 Diperbarui: 8 Agustus 2020   12:51 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menurut Reporter Tanpa Batas Negara, RSF, hampir setengah dari sekitar 400 jurnalis yang dipenjara di dunia ada di tiga negara, yaitu Cina, Mesir dan Arab Saudi. Menurut RSF, di Cina saja ada 120 pekerja media yang dipenjara. Kemudian lebih dari 40 persen diantara mereka adalah jurnalis warga (citizen journalist) yang mencoba menyebarkan informasi independen melalui jejaring sosial. 

Sebagian besar yang ditahan tahun 2019 adalah berasal dari minoritas Muslim Uighur. Organisasi Reporter Tanpa Batas Negara, RSF mengatakan, tahun 2019 sampai 1 Desember setidaknya ada 49 jurnalis terbunuh di seluruh dunia karena pekerjaan mereka sejak awal tahun 2019, lebih dari setengahnya ada di lima negara yaitu, Suriah, Meksiko, Afghanistan, Pakistan, dan Somalia. 

Hal tersebut kemudian membuat Michael Rediske, Juru Bicara RSF Jerman, mengungkapkan bahwa "ada perang atau tidak ada perang sama saja", hal ini mengingat bahwa sebuah negara tanpa perang seperti Meksiko saja, juga sama berbahayanya bagi wartawan dengan Suriah yang dilanda perang. 

Bahkan pada tahun 2018 silam, sebanyak 15 jurnalis terbunuh di Afghanistan, hingga Organisasi Reporter Tanpa Batas Negara mengatakan bahwa Afganistan adalah negara paling mematikan di dunia bagi para jurnalis.

Keberadaan jurnalis disamping menjalankan profesinya sebagai wartawan, mereka juga memiliki status sebagai warga sipil, namun tentunya mereka akan kehilangan status mereka sebagai warga sipil jika mereka ikut serta secara langsung dalam perselisihan. 

Berdasarkan pasal 79 protokol tambahan I Konvensi jenewa 1949, seorang wartawan yang sedang menjalankan profesinya di medan pertempuran harus dianggap sebagai orang sipil (civilian). Bersama-sama dengan individu-individu yang dinyatakan sebagai orang sipil lainnya, maka wartawan perang menjadi unsur dari penduduk sipil (the civilian population). Seperti yang disebutkan dalam pasal 50 ayat 2 protokol tambahan I.

Kondisi yang tidak menentu di beberapa negara, seperti Suriah dan beberapa negara konflik lainnya, bukan suatu hal yang tidak mungkin apabila mereka turut serta secara langsung dalam pertempuran, hal ini selain akan menghilangkan status mereka sebagai warga sipil namun juga akan membahayakan nyawa mereka. 

Sehingga muncullah satu gagasan apakah para jurnalis yang turut serta secara langsung dalam pertempuran harus dipersenjatai untuk melindungi diri mereka atau tidak. 

Hal ini tentunya harus di kaji lagi secara lebih mendalam. Namun sejauh ini penulis berpandangan bahwa harus ada regulasi yang secara tegas mengatur jenis partisipasi langsung yang dimaksudkan untuk mempertegas status mereka dan juga sebagai upaya dalam melindungi keberadaan mereka sebagai jurnalis.  

Dalam hal penyebaran propaganda misalnya, bahwa sebagaimana diketahui tidak ada garis yang jelas untuk membedakan propaganda mana yang dapat dihitung sebagai partisipasi langsung dalam pertempuran dan yang tidak. 

Jika kita melihat Konvensi Jenewa 1949 maupun Protokol 1977 terdapat istilah partisipasi aktif (active participation) dan partisipasi langsung (direct participation). Namun menurut beberapa pakar seperti Nicole Urban misalnya, menyatakan bahwa kata active dan direct adalah sinonim (Michael N. Schmitt, 2009:6. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun