Mohon tunggu...
Hamdani Pasai
Hamdani Pasai Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Guru pemerhati bahasa dan sastra "Sejarah adalah bayangan masa lalu yang selalu mengikuti pejuangnya"

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Lagu di Persimpangan Jalan" Goresan Pena Mahdi Idris dalam Sebuah Tembang Puisi

26 Maret 2020   17:29 Diperbarui: 27 Maret 2020   14:21 43
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Oleh Hamdani Mulya

Saya tulis risalah ini sebagai sebuah apresiasi kepada penulis  Mahdi Idris, sebagai seorang penulis sekaligus guru, Mahdi Idris telah menoreh karya yang begitu apik sehingga melahirkan sebuah buku yang layak dibaca bertajuk Lagu di Persimpangan Jalan. Dengan lincah dan mengalir deras di atas lembaran buku. Ia sangat lihai bercerita dengan suka duka, cinta dan air mata, sekaligus rindu akan tanah leluhurnya Aceh yang sarat budaya serta kearifan lokal yang mestinya dipelihara dengan baik. Kali ini ia bercerita dengan berpuisi, ya itulah puisi sebuah karya yang ringkas, namun sarat pesan moral. Dalam beberapa bait saja, jika ide puisi ditulis dalam bentuk cerpen atau novel mungkin halaman bukunya akan lebih tebal dan penuh kisah yang panjang.

Lagu di Persimpangan Jalan sebuah buku terbitan Dinas Perhubungan, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Aceh Utara tahun 2014 ini, diberikan pengantar oleh penulis Teuku Kemal Pasya yang ia ungkapkan dalam "Berpuisi, Meretas Jalan Sendiri". Teuku Kemal Pasya berharap agar lahan kepenulisan Aceh harus tumbuh subur dalam areal menanam sastra seperti yang ia ungkapkap berikut ini "... di bidang puisi lebih menyedihkan. Lahan Aceh masih tandus dan rapuh," Teuku Kemal Pasya prihatin dengan geliat puisi yang dihasilkan penulis berdarah Aceh kurang produktif.

Hal tersebut cocok seperti kata-kata Mahdi Idris dalam puisi berikut:

Akulah diri paling rapuh

Berdiri perkasa

Halau badai raksasa

Meski kekuatan tinggal sedepa

            (Akulah Ranting, Mahdi Idris, hal 28)

Atas keprihatinan Teuku Kemal Fasya di atas, lalu Mahdi Idris berangkat dengan semangat membara ke ladang satra menampakkan eksistensinya bahwa karya sastra penulis berlatar Aceh harus tumbuh subur dalam ladang kancah sastra nasional. Mahdi Idris dengan bukunya ingin menerangkan bahwa penulis Aceh memiliki buku yang berpotensi bersanding sejajar di rak buku dengan buku-buku nasional lainnya. Hal tersebut Mahdi Idris ungkapkan dalam puisi "Lagu di Persimpangan  Jalan" terdapat pada bait berikut:

Ah, kami siap berangkat kapan saja agar kau mengerti harga diri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun