Sejarah bangsa Indonesia dipenuhi dengan kisah yang tak selalu ditulis dalam buku pelajaran. Salah satunya adalah peristiwa G30S PKI yang meninggalkan jejak di banyak daerah, termasuk di bekas Kerajaan Labala, Lembata, Nusa Tenggara Timur. Tidak banyak yang tahu bahwa peristiwa ini juga merenggut nyawa sejumlah orang Labala yang sebenarnya tidak pernah terbukti sebagai anggota PKI. Mereka hanyalah korban tuduhan, namun harus membayar dengan nyawa.
Tuduhan yang Menghantarkan ke Maut
Tahun 1965 menjadi titik balik penuh ketegangan di seluruh Indonesia. Di Labala, sebuah kampung kecil yang dulunya bagian dari kerajaan, gejolak itu ikut terasa. Tercatat ada tujuh orang yang ditangkap dan kemudian dibunuh di Lewoleba, yang kini menjadi ibu kota Kabupaten Lembata. Lima di antaranya berasal dari Labala, satu dari Ile Ape, dan satu lagi dari kampung lain.
Nama mereka dicatat sebagai anggota PKI oleh seorang tokoh lokal yang pernah menjabat sebagai kepala desa pada masa itu. Tuduhan itu menjadi stempel yang menentukan nasib. Tidak ada proses pengadilan, tidak ada ruang pembelaan. Mereka langsung dianggap bersalah, padahal tidak ada bukti yang benar-benar mengaitkan mereka dengan gerakan politik tersebut.
Kuburan Massal, Jejak yang Masih Nyata
Ketujuh orang itu dibawa dengan sebuah mobil ke Lewoleba. Malam itu menjadi malam terakhir mereka melihat dunia. Mereka dibunuh dan kemudian dikuburkan secara massal di sebuah tempat yang hingga kini masih menyimpan jejak. Kuburan mereka berbentuk lingkaran yang cekung ke bawah. Bekas ban mobil yang membawa mereka menuju maut pun masih bisa dilihat hingga hari ini, menjadi saksi bisu yang tak pernah berbohong.
Kuburan massal itu bukan sekadar tanah dan batu. Ia adalah luka yang tertanam dalam ingatan kolektif masyarakat Labala. Setiap kali orang menatap cekungan itu, seolah mereka sedang menatap lubang gelap sejarah yang berusaha disembunyikan.
Lewoleba, Saksi yang Masih Ada
Kini Lewoleba berkembang menjadi pusat pemerintahan Kabupaten Lembata. Jalan-jalan ramai, pasar penuh aktivitas, dan kehidupan terus berjalan. Namun di balik wajah kota modern, ada satu titik yang menyimpan cerita kelam. Di sanalah darah tujuh orang tumpah, di sanalah ketidakadilan terjadi, di sanalah sejarah lokal bertemu dengan sejarah nasional.
Orang-orang Labala masih mengingat kisah itu. Tidak semua berani menceritakannya, tetapi ingatan kolektif tetap hidup. Mereka yang kehilangan keluarga tahu betul bahwa orang-orang yang dituduh PKI itu hanyalah korban. Tuduhan itu hanya alasan untuk menyingkirkan, dan eksekusi itu menjadi bukti betapa rapuhnya keadilan pada masa itu.