Bicara soal "cadangan", sepak bola dan beberapa cabang olahraga beregu sangat kental dengan istilah ini. Pemain inti mendapat keistimewaan bermain sejak menit awal, dan "cadangan" menunggu dengan harap-harap cemas, apakah mereka diperbolehkan oleh sang pelatih untuk menggantikan posisi pemain inti di menit tertentu atau hanya menghangatkan bangku cadangan sampai pertandingan usai.
Dan, sudah banyak drama tercipta, khususnya di cabang sepak bola yang mendapat atensi tersendiri di hati saya, di mana beberapa pemain yang berjulukan substitution player bahkan supersub sekalipun pada akhirnya akan memutuskan hengkang untuk mendapatkan jam bermain yang lebih banyak di klub lain.Â
Selain tidak ingin dianggap 'makan gaji buta', mereka ingin dihargai tenaganya, karena dengan banyaknya menit bermain, itu juga memengaruhi pemilihan pemain untuk masuk ke tim nasional negara masing-masing yang menuju ke Piala Dunia, Piala Eropa, atau kompetisi sepak bola lainnya.Â
Minim jam bermain, alamat pelatih nasional negara mereka kemungkinan besar tidak akan memilih mereka karena ragu akan kebugaran dan kinerja para pesepakbola tersebut. Di lain sisi, usia emas akan berlalu. Habis waktu menghangatkan bangku cadangan bukan hal yang patut dibanggakan, meskipun berada dalam klub ternama.
Menjadi guru "cadangan"
Di dunia pendidikan, sewaktu masih mengajar di sekolah dasar negeri, istilah 'guru jaga' lebih sebatas pada fungsi piket atau menjaga ketertiban sekolah, seperti mengawasi guru dan murid-murid yang masuk dan keluar dari sekolah; dan apabila ada tamu yang berkunjung ke sekolah untuk keperluan tertentu. Menggantikan guru-guru yang berhalangan mengajar juga bisa menjadi tugas guru jaga, meskipun itu jarang dilakukan.
Di kursus atau bimbingan belajar (bimbel), alih-alih guru jaga, guru cadangan yang lebih mengemuka. Dan saya mengalami hal tersebut di bimbel Tania (bukan nama bimbel yang sebenarnya).
Saya menjadi guru 'cadangan' atau guru pengganti sejak awal Juli 2025 ini. Sebabnya? Bisa jadi karena periode pertengahan Juni sampai pertengahan Juli 2025 adalah masa liburan semester bagi seluruh murid di sekolah masing-masing, sehingga, kalau toh ada yang tetap belajar di bimbel, tidak seberapa banyak dibanding saat mendekati ujian semester di mana murid-murid seakan mengerumuni bimbel bagaikan rombongan semut mengelilingi gula.
Saya bisa mengerti kalau saat liburan semester, jumlah murid bimbel berkurang drastis. Saya pernah mengalami hal serupa dulu ketika mengajar di kursus bahasa Inggris beberapa tahun yang lalu. Namun yang membuat saya heran, status guru 'cadangan' tetap melekat dalam diri, meskipun tahun ajaran baru sudah dimulai sejak tanggal 14 Juli 2025.Â
Saat artikel ini saya tulis di hari Selasa, 5 Agustus 2025 (entah sampai tanggal berapa artikel ini tuntas. Saya nulis di K di saat ada waktu senggang aja), posisi saya tetap guru 'cadangan'.
Ternyata begini rasanya jadi "cadangan". Bukan guru inti. Dan di saat guru inti berhalangan mengajar, pihak bimbel baru mengingat keberadaan guru cadangan yang entah sudah berapa hari tidak diperhatikan. Ngenes banget nasib guru cadangan!
Mengapa saya menjadi guru 'cadangan'?
Sebenarnya, selain saya, ada beberapa guru bimbel Tania yang juga bernasib sama. Menjadi guru 'cadangan'. Kebanyakan dari mereka hanya diam membisu tanpa protes. Entah karena mereka mempunyai side hustle lain; sudah mempunyai pekerjaan utama di luar bimbel, sehingga no teaching, no problem; atau malas untuk menanyakan alasan pencadangan mereka.