Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Ketidakjelasan Arah "Conversation Class"

23 Juni 2025   14:59 Diperbarui: 24 Juni 2025   03:50 298
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tak terasa, sudah hampir tiga bulan saya mengajar di bimbel Tania (nama bimbel bukan nama sebenarnya). Kalau ditanya, "Apakah Anda senang mengajar di bimbel Tania?", tentu saja subjektif adanya. Dan, pastinya ada suka dan duka. Kalau menyangkut duka, saya sudah menuangkan "sedikit" permasalahan bimbel Tania di artikel terpisah. Anda dapat menyimaknya di artikel berikut:

Baca juga: Carut-marut Bimbel, Apa Sebabnya?

Dan sekarang, ada hal baru yang menyeruak. Persoalan yang ternyata sudah lama dipendam Tania, dan baru akhir Mei, beliau menyatakan unek-uneknya kepada saya. 

"Saya tidak ngerti dengan cara Susan mengajar. Sudah banyak orangtua murid yang complain kalau Susan hanya ngajar nulis aja. Tidak ada conversation-nya. Padahal saya sudah mengklaim kepada para orang tua murid bahwa ini conversation class!"

Seperti yang sudah-sudah, saya tidak akan percaya seratus persen pada apa yang setiap orang katakan, meskipun itu saudara atau anggota keluarga saya sekalipun. Apalagi dari Tania, insan yang susah dipegang kata-katanya, karena bisa berubah dalam sepersekian detik. Meskipun dia bos saya, bukan berarti dia benar sepenuhnya. Fakta dan data harus menjadi pijakan dalam melihat permasalahan secara keseluruhan. Bukan dari asumsi atau dari kata orang. 

Mengapa Tania menganggap Susan tidak kompeten dalam mengajar bahasa Inggris?

Untuk sementara, saya menampung permasalahan dari sisi Tania sebagai pimpinan bimbel, karena peran saya juga sebagai pengajar di bimbingan belajar beliau. Selain itu, karena disiplin ilmu yang saya pegang yaitu pendidikan bahasa Inggris.

Dalam hal ini, Tania menganggap Susan (bukan nama sebenarnya) tidak kompeten dalam mengajar bahasa Inggris. Ada 2 (dua) alasan dari Tania:

Ilustrasi conversation class (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi conversation class (Sumber: Kompas.com)

1. Susan salah dalam menjalankan tugas mengajar kelas bahasa Inggris

Seperti sedikit dibahas di awal artikel, Tania menginginkan Susan mengajar conversation karena dia sudah menyatakan kepada para orang tua murid kalau kelas bahasa Inggris di bimbelnya adalah khusus kelas percakapan, conversation class.

"Masa nulis terus. Tentang grammar lagi. Coba kayak anak saya, Mira, yang ngajar conversation class dengan video call dengan temannya yang native speaker. Saat itu, orang tua murid banyak yang mendaftarkan anak-anak mereka ke sini. Bahkan sampai 50 murid lebih waktu itu, sehingga harus buat dua kelas di waktu yang bersamaan. Saya sampai turun tangan waktu itu," Tania memaparkan ketidakmampuan Susan dalam mengajar conversation dan kompetennya Mira (bukan nama sebenarnya), anak perempuan Tania, dalam mengajar percakapan dalam bahasa Inggris.

Menurut saya, membandingkan orang lain dengan anggota keluarga sendiri tidaklah tepat, menimbang faktor kekerabatan lebih kental dan tentu saja, objektivitas menjadi diragukan. 

2. Susan keliru dalam beberapa penulisan kata-kata bahasa Inggris dalam materi ajar

"Masa salah dalam penulisan kata-kata bahasa Inggris! Saya sudah menerima kritikan dari orangtua Beni, Helda, dan Romi soal itu," kata Tania berapi-api (nama-nama murid yang tertera bukan nama sebenarnya).

Saya melihat tulisan di papan tulis, tulisan Susan di malam sebelumnya dan memang terlihat ada beberapa kesalahan tulis di segelintir kata-kata bahasa Inggris yang Susan torehkan di papan tulis. Untuk kesalahan yang satu ini, saya mengakui blunder, kesalahan fatal yang Susan lakukan. Tania benar untuk yang satu ini. Penguasaan bahasa Inggris Susan menjadi titik lemah yang seharusnya tidak terjadi.

Apa Keinginan Tania?

Keinginan Tania mengemuka. Tentu saja, dia yang mempunyai bimbel. Sah-sah saja mempunyai harapan akan kelas khusus yang dia tawarkan ke publik. "Andalan bimbel ini adalah bahasa Inggris. Itu keinginan saya," Tania menyatakan ambisinya akan spesialisasi bimbel. Oleh karena itu, dia mengungkapkan dua langkah yang dia ingin lakukan:

1. Tania ingin saya mengajar conversation class sepenuhnya

"Saya ingin Sir Anton ambil alih tugas mengajar conversation class ini," Tania menawarkan jabatan guru di kelas khusus ini kepada saya setelah menguak ketidakkompetenan Susan dalam mengajar bahasa Inggris. Apakah saya langsung menerima tawaran menggiurkan tersebut? Tentu saja tidak, Ferguso! 

Saya menyarankan ke Tania untuk tidak gegabah dalam memutuskan pemecatan Susan. "Bicara dengan Miss Susan sebelumnya, Bu. Anda harus mengomunikasikan permasalahan kepadanya. Tidak elok kalau Anda langsung memutuskan hubungan kerja dengan Miss Susan," saya meyakinkan Tania untuk berdiskusi terlebih dulu dengan Susan.

2. Tania ingin memutuskan hubungan kerja, bukan dari segi kemampuan guru saja, tapi juga dari segi lainnya

Tania ingin memecat Susan, selain karena kemampuannya yang diragukan, juga karena ketidaksesuaian honor yang dia "sangka" harus berikan kepada Susan.

"Saya ternyata baru tahu dari Mira kalau saya harus membayar honor dua kali lipat dari yang seharusnya," kata Tania.

"Memangnya Mira tidak memberitahu Anda sebelumnya?" tanya saya.

"Tidak," jawab Tania.

Saya cuma tepuk jidat setelah mendengar fakta tersebut.

Bagaimana saya mencermati akan keluhan Tania?

Tentu saja, saya bukan tipikal orang yang langsung menelan bulat-bulat informasi dari satu sumber tanpa melakukan penelaahan dari sumber-sumber lain yang terkait. Dalam hal ini, koentji utama dalam permasalahan ini adalah Susan. "Saya perlu bertemu langsung dengan Susan," kata saya pada Tania.

Sempat terkendala waktu bertemu, pada akhirnya di suatu malam di awal bulan Juni 2025, Tania mengajak saya untuk mengajar langsung di conversation class, menunjukkan langsung pada Susan bagaimana mengajar percakapan dalam bahasa Inggris kepada murid.

"Kalau boleh usul, saya ingin melihat langsung bagaimana Miss Susan mengajar di kelas. Dengan begitu, saya bisa memberikan masukan-masukan yang konstruktif terkait permasalahan dalam proses belajar mengajar di kelas,"

"Dengan langsung mengajar di kelas, terkesan saya menggurui Miss Susan, padahal saya belum pernah melihat dia mengajar di kelas. Cara dia mengajar, metode apa yang dia gunakan, bagaimana sistematika proses belajar mengajar penting adanya. Itu yang saya ingin lihat,"

"Semua orang selalu mulai dari nol. Saya dulu juga begitu. Jadi, saran saya, beri Miss Susan kesempatan," saya menyatakan argumentasi saya akan perlunya Miss Susan menampilkan kebisaannya dalam mengajar bahasa Inggris.

Tania menyetujui meskipun dengan berat hati.

Waktu menunjukkan pukul 18.50 WITA. Sepuluh menit sebelum pukul tujuh malam di suatu hari Rabu di bimbel Tania. Susan tiba, dan bersalaman dengan Tania dan setelah itu saya. Tapi setelah salaman tersebut, perkataan Tania membuat saya kaget. "Ini baru pertemuan pertama saya dengan Miss Susan," kata Tania yang bagaikan petir di siang hari bolong.

Hah? Baru pertama kali bertemu? Kok bisa? Saya heran. Saya tidak habis pikir bagaimana bisa Tania belum pernah bertemu dengan Susan sebelumnya padahal Susan sudah dua bulan lebih mengajar di bimbelnya!

Susan pun mulai mengajar. Tania dan saya mengamati bagaimana Susan mengajar. Menurut saya, Susan cukup baik dalam mengajar. Sayangnya, dalam pengamatan dan analisis saya, dia mengajarkan materi ajar yang kurang sesuai dengan tingkat usia murid yang rata-rata masih berstatus murid Sekolah Dasar (SD). Materi ajar terkesan 'berat'. Umpan balik yang Susan lempar ke murid tidak berbalas.

"Saya ambil alih ya, Sir," tiba-tiba Tania berkata pada saya setelah 20 menit Susan mengajar. 

"Belum selesai, Bu. Saya belum lihat proses belajar mengajar dari segi keaktifan murid. Sabar, Bu. Tunggu sebentar lagi. Lima menit lagi," bujuk saya supaya Tania sabar menanti keaktifan murid.

Tania bersabar. Lewat lima menit. Saya sengaja tidak berkata apa-apa sampai waktu mencapai sepuluh menit penantian. Tania beranjak berdiri dari kursi dan berkata, "Saya ambil alih ya, Sir. Soalnya ada kelas jam delapan sesudah ini."

"Lho, bukannya cuma satu kelas aja, Bu? Kelas ini sampai jam setengah sembilan kan?" Saya heran.

"Oh, tidak, Sir. Ini cuma satu jam aja. Kelas kecil dari jam tujuh sampai jam delapan. Kelas besar dari jam delapan sampai jam sembilan," Tania langsung beranjak ke depan kelas setelah mengatakan hal tersebut. Saya hanya geleng-geleng kepala. Tania mengulangi kebiasaan lamanya. Tidak menyampaikan informasi secara lengkap tentang kelas-kelas bahasa Inggris di malam itu. 

Tania mengambil alih proses belajar mengajar ketika jarum jam dinding menunjukkan pukul 19.35 WITA. Bagaimana cara Tania mengajar? Kurang etis kalau saya menilai cara bos mengajar, tapi memang, menurut saya, Tania menggunakan metode ceramah yang membosankan. Full English, tapi tidak efektif untuk mendorong murid semangat berbicara dalam bahasa Inggris. Ketiadaan lesson plan dan tidak adanya kurikulum yang jelas di bimbel sudah pasti berkontribusi pada ketidakjelasan arah conversation class.

Untuk kelas besar, saya berinisiatif untuk memberikan contoh pada Tania dan Susan tentang conversation class dan proses belajar mengajar yang seharusnya terjadi untuk mencapai keterampilan berbicara murid dalam bahasa Inggris.

"Saya ngajar untuk kelas besar ya, Bu. Bukan bermaksud menggurui. Lebih baik show, don't tell," kata saya pada Tania.

Tunjukkan, bukan beritahukan. Memberikan contoh langsung dengan tindakan.

Satu jam berlalu. Saya sudah mengajar kelas besar dan saya kira saya sudah memberikan yang terbaik yang saya bisa. Tania langsung segera pulang karena kondisi kesehatannya tidak begitu baik, "Saya pulang duluan ya, Sir, Miss Susan. Badan saya kurang enak. Besok-besok aja kita bahas tentang kelas bahasa Inggris ini ya," Tania mohon pamit. 

"Baik, Bu," Susan dan saya menjawab berbarengan. Saya juga segera bergegas pulang karena waktu sudah menunjukkan pukul 21.00 WITA. Saya sudah lelah. Susan masih menunggu murid-murid lesnya yang masih belum pulang. Saya pulang duluan karena saya sudah mengajar di bimbel dari jam dua siang. Kalau saya masih harus membahas tentang bagaimana Susan mengajar, entah saya bisa fokus atau tidak. 

Tiga hari setelahnya, Sabtu, saya membuat janji untuk bertemu dengan Susan. Saya ingin tahu tentang mengapa Susan ingin mengajar di bimbel Tania, padahal dia berkuliah di fakultas dan program studi yang sangat tidak berhubungan dengan perihal mengajar bahasa Inggris. 

"Saya kuliah di Hubungan Internasional. Saya dapat tawaran mengajar dari Nisa, keponakan Bu Tania," kata Susan waktu saya menanyakan tentang awal mula dia mendapat tawaran mengajar di bimbel Tania. 

Dan saya menanyakan pertanyaan koentji yang menjadi persoalan, "Anda sudah tahu kan kalau kelas yang Anda tangani saat ini adalah conversation class?"

"Saya tidak tahu, Sir," jawab Susan singkat. 

"Hah? Anda tidak tahu?" Saya merasa salah dengar dengan jawaban Susan.

"Ya. Saya tidak tahu. Dina cuma bilang mengajar saja seperti biasa," kata Susan menegaskan (Dina (nama samaran) adalah salah satu keponakan Tania yang merekrut Susan sebagai guru bahasa Inggris untuk Conversation Class).

Menimbang, memutuskan

Tentu saja, setelah mendengar penuturan Susan, ditambah saat saya melihat dia mengajar dan momen ketika Tania mengatakan kalau dia baru pertama kali bertemu Susan setelah Susan mengajar di bimbel selama dua bulan lebih, membuat saya menimbang tawaran Tania supaya saya mengajar full dua pertemuan dan Susan 'dirumahkan'.

Saya memutuskan untuk tidak mengambil apa yang menjadi hak Susan.

"Saya rasa, bukan sepenuhnya salah Susan jika dia mengajar dengan cara lebih banyak menulis. Dia tidak tahu kalau conversation class yang dia pegang. Saya melihat kejujuran dalam penjelasannya.

"Saya kira Anda perlu memberikan kesempatan sekali lagi kepada Susan untuk memperlihatkan kemampuannya dalam mengajar," Saya memungkasi keputusan saya kepada Tania. 

Tania akhirnya mengambil jalan tengah. "Sir Anton mengajar di hari Kamis dan Miss Susan di hari Jumat. Anda berdua berkolaborasi untuk membuat materi ajar," Tania menyampaikan keputusan yang dengan berat hati saya terima. Untuk sementara, supaya Susan tetap mengajar di bimbel Tania.

Saran untuk Tania dan pimpinan bimbel lainnya terkait "conversation class"

Sebenarnya ini tidak hanya menyangkut tentang "conversation class", tapi juga kelas khusus yang spesifik mengajar satu keterampilan tertentu. Tujuan dan arah diadakan kelas khusus harus jelas dan terang benderang, supaya visi dan misi bisa terwujud. 

Selama pengalaman mengajar bahasa Inggris di berbagai sekolah dan kursus bahasa Inggris, menurut saya, ada 3 (tiga) hal yang pimpinan bimbel, baik itu Tania maupun pimpinan bimbel lainnya, harus cermati berkaitan dengan conversation class:

1. Pimpinan bimbel memastikan kompetensi calon guru mumpuni sebelum diterima mengajar

Tentu saja, hal pertama kali yang pimpinan bimbel harus pastikan adalah kompetensi calon guru. Conversation class membutuhkan guru yang menguasai, bukan saja speaking, tapi juga writing. Terkadang, fokus speaking menjadi penegasan bahwa sang insan hebat dan piawai dalam berbahasa Inggris, tapi sebenarnya tidak sesederhana itu. Calon guru harus juga teliti dan cermat dalam menulis. 

Kurang tepatnya penulisan beberapa kata dalam bahasa Inggris dalam materi ajar bisa menjadi indikator calon guru tidak kompeten dalam bahasa Inggris. Sehebat apa pun speaking-nya, kalau writing-nya kedodoran ya bisa menyesatkan murid. Makanya kalau calon guru mempunyai hobi menulis, khususnya menulis dalam bahasa Inggris, itu akan menjadi nilai plus tersendiri dan merupakan "jaminan" kalau dia dapat menyampaikan materi ajar dan 'pesan moral' yang terkandung dalam materi ajar tersebut dengan jelas.

Dan, yang terlebih penting adalah bagaimana calon guru mengajar di dalam kelas. Lesson plan, language teaching media, teaching learning process, dan pernak-pernik lain menjadi pertimbangan utama layak atau tidaknya sang calon guru diterima menjadi tutor yang menangani conversation class di bimbel.

2. Pimpinan bimbel harus mewawancarai calon guru dan menyampaikan tujuan diadakan kelas khusus tersebut

Wawancara adalah satu tahapan yang tidak boleh dilewatkan. Dari pertemuan tatap muka secara langsung tersebut, pimpinan bimbel bisa melihat dan mendengar secara langsung tentang kemampuan calon guru dan mengamati bidang-bidang lain yang menjadi minat calon guru yang menjadi nilai tambah dalam mengajar kelak di bimbel.

Sayangnya, Tania melewatkan tahapan ini, sehingga ketidaktahuan kemampuan Susan dalam mengajar menjadi blunder dan mempermalukan kredibilitas conversation class yang Tania gaungkan kepada para orangtua murid. 

Menyampaikan tujuan diadakan kelas khusus, dalam hal ini, conversation class, perlu disampaikan oleh pimpinan bimbel kepada calon guru, supaya mimpi bimbel mempunyai andalan English sebagai keterampilan yang ada dan terutama di bimbel bukan menjadi halusinasi belaka.

3. Pimpinan bimbel menyatakan honor guru untuk satu pertemuan secara terang benderang di awal

Silang sengkarut informasi yang tak tersampaikan antara anak dan ibu adalah permasalahan yang pada akhirnya menjadi poin lemah untuk bertindak tegas. Mira, sang anak, tidak menyampaikan informasi perihal honor guru conversation class untuk satu pertemuan. Sang ibu, Tania, menyangka nominal honor seperti yang dia sangka.

Sudah seharusnya, penetapan honor bukan sekadar di otak saja. Harus dituliskan di atas kertas. Hitam di atas putih. Dan sepengetahuan seluruh jajaran inti di bimbel. Bukan sekadar pimpinan bimbel yang mengetahui. Dan apabila bertemu langsung saat wawancara, pimpinan bimbel harus menyatakan honor guru untuk satu pertemuan secara terang benderang di awal. Hak guru harus disampaikan dengan jelas. Dengan begitu, tidak ada keraguan dan kebingungan di kemudian hari.

Bimbel rumahan tetap harus 'profesional'

"Mungkin memang harus pakai aplikasi, pakai komputer untuk mendata semua murid," kata Tania pada suatu hari.

"Tidak mesti harus pakai teknologi kalau Anda belum sanggup untuk mengadakan dan menggunakan. Pakai yang ada saja untuk merapikan. Pakai kertas dan pulpen pun tidak masalah. Yang penting, tata kelola bisa berjalan dengan sistem yang rapi," Saya meluruskan kesalahpahaman Tania perihal teknologi yang membuat penataan menjadi rapi dan teratur, "Yang terpenting itu adalah niat yang kuat dan pelaksanaan secara nyata. Meskipun ada tersedia alat canggih seperti komputer dan laptop, kalau orangnya malas dan tidak kompeten, semua itu juga tidak ada gunanya."

Akhir kata, ketidakjelasan arah conversation class dan kelas-kelas khusus lainnya bisa diantisipasi dan ditiadakan sejak awal, jika Tania dan pimpinan bimbel rumahan lainnya memastikan kompetensi calon guru mumpuni; mewawancarai calon guru dan menyampaikan tujuan diadakan conversation class; dan menyatakan honor guru untuk satu pertemuan secara terang benderang di awal. 

Bimbel boleh rumahan, tapi 'profesionalitas' tetap harus menjadi yang terdepan untuk menunjukkan kepada masyarakat kalau kualitas bimbel rumahan tak kalah dengan lembaga pendidikan yang sudah mapan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun