Setelah memeriksa dan menganalisis, C berkata, "Kemungkinan untuk mendapatkan keturunan sangat kecil, karena sudah tua."
I hanya bisa memendam kemarahan di dalam hati saat berada di ruang praktik. Setelah tiba di rumah, kemarahan I meledak.
"Sopan sekali dokter tadi! Kasarnya, dia mengatakan mustahil untuk punya anak karena sudah tua!"
I pindah berkonsultasi ke dokter lain. Dokter kali ini berbeda dengan dokter pertama.
"Wah, jangan putus harapan, Bu. Masih ada peluang bagi bapak dan ibu untuk memperoleh momongan...," kata D, sang dokter menenangkan dan memberikan jalan keluar.
Kejadian terjadi di dua rumah sakit yang berbeda di Samarinda. C berpraktik di rumah sakit A; dan D berpraktik di rumah sakit B.
Studi Kasus Kedua: Meremehkan tingkat pemahaman pasien
Sebenarnya ini masih berkaitan dengan tulisan saya sebelumnya tentang BPJS Kesehatan dan Derita Penyintas Kanker. Hanya saja di artikel sebelumnya, tidak ada pembahasan tentang dokter "antik" berikut ini.
Di rumah sakit swasta K di Jakarta, L berkonsultasi dengan dokter W, dokter spesialis kanker yang memeriksa kondisi L.
E, adik L, ikut menemani L dan berada di ruang praktik.
Setelah hening beberapa saat, W berkata kepada L dan E, "Percuma saya jelaskan. Pasti tidak akan paham."
L dan E hanya bisa diam saat itu. Sesampai di rumah, E menyoal ketidakmauan W untuk menjelaskan karena menyangsikan tingkat pemahaman L dan E tentang penyakit yang diderita L. Lebih tepatnya "meremehkan" level intelektual E dan L.