Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Artikel Utama

Sukarnya Berbahasa Inggris di Tengah Pusaran "Dialect Shaming"

23 Januari 2021   20:49 Diperbarui: 24 Januari 2021   09:19 614
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi dialek(shutterstock.com via KOMPAS.COM)

Dalam kasus Anwar, dia dulu pernah bertekad tidak mau menjadi guru bahasa Inggris karena malu dengan dialeknya.

Begitu juga dengan Gunadi (nama samaran) yang malu karena diolok-olok murid-muridnya sewaktu Praktik Pengalaman Lapangan (PPL) di SMA. "Dialekku diolok-olok murid-muridku. Jengkel aku," kata Gunadi, menceritakan pengalamannya dulu waktu PPL.

Menurut saya, dari penelaahan selama bertahun-tahun mengajar bahasa Inggris, ada dua alasan kenapa dialect shaming bisa terjadi.

1. Perasaan superior pada diri sendiri

Merasa diri hebat adalah hal yang menjadi penyebab seseorang menghina orang lain akan kekurangan diri, padahal diri sendiri bukan sosok yang sempurna.

Perasaan superior juga bisa menyebabkan seseorang merasa berada dalam zona nyaman dan tidak berupaya untuk mengembangkan diri lebih lanjut, karena sudah merasa tingkat kemampuannya tinggi.

Secara pribadi, selama dua puluh tahun mengabdi sebagai guru, sudah banyak saya menemui dialek yang bervariasi dari peserta didik. Bagi saya, sejauh dapat dipahami pesan lisan yang disampaikan, tidak menjadi masalah apapun dialek yang melatarbelakanginya.

2. Menganggap dialek dari daerah lain "aneh"

Sudah tahu kita berada di suatu negara yang mempunyai 34 provinsi dengan berbagai suku, agama, ras, dan antar golongan; tapi masih ada saja yang merasa diri lebih tinggi dan menganggap dialek dari daerah lain "aneh".

Pak Dodi, herannya, kok bisa menganggap dialek Anwar "aneh", padahal beliau sudah cukup sering ke berbagai daerah lain, entah untuk urusan mengajar kuliah di universitas lain, atau sekadar untuk studi banding.

Sekelas dosen saja bisa "lupa" akan perbedaan dialek. Saya tidak bisa membayangkan bagaimana dengan sudut pandang kebanyakan warga yang selama hidup jarang bersosialisasi dengan beragam "dialek" dari sejumlah kenalan.

Bagaimana membasmi dialect shaming?

Tentu saja, tidak mudah membasmi dialect shaming, karena masalah SARA di Indonesia sudah terlalu lama mengakar.

Dalam hal ini, saya menyoroti masalah membasmi dalam konteks semangat berbahasa Inggris pada khususnya, dan berbahasa Indonesia pada umumnya, supaya tidak ada lagi, atau paling tidak, bisa mengurangi kecenderungan warga dalam merundung orang lain perihal dialek.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun