Ibu. Sudah tiga tahun beliau tidak ada bersama-sama dengan kami, anak-anaknya. Ibu sudah berkumpul kembali dengan ayah di kekekalan.
"Engkau sudah tak merasakan sakit lagi. Kau sudah sembuh, Bu..."
Mungkin beliau tak pernah menyangka kalau saya, anaknya yang paling bungsu, paling nakal, dan paling menyusahkan ini selalu menganggapnya sebagai guru yang paling pintar dan paling berjasa dalam mengajarkan kami, anak-anaknya, akan arti kehidupan.
Saya menyesal tidak sempat mengucapkan hal ini semasa ibu masih ada.
Ibu adalah "Sekolah Pertama" saya.
Mungkin kebanyakan orang di negeri ini mengagungkan titel atau gelar sarjana. Ibu, mungkin insan yang dipandang sebelah mata oleh kebanyakan orang karena hanya bersekolah sampai lulus SMP, namun di mata saya, ibu adalah seorang guru besar, maestro kehidupan.
"Ruang kelas" ada dimana-mana. Tidak ada sekat-sekat yang membatasi. Belajar bisa dimana saja. Bisa di ruang makan, di kebun, di dapur, bahkan di kamar tidur sewaktu ibu merawat saya saat saya sakit.
Setiap saat adalah "jam belajar" bagi kami, anak-anaknya. Banyak nilai-nilai kehidupan yang beliau ajarkan pada kami, meskipun mungkin ibu tidak menyadari kalau dia mengajarkan itu semua kepada anak-anaknya. Beliau juga tidak marah saat anak-anaknya (termasuk saya) tidak naik kelas.
Saya ingat saat saya tidak naik kelas waktu kelas satu SD. Entah kenapa, saya tidak mengerti apa pun yang dipelajari di sekolah. Saya juga tidak memahami kenapa saya harus bersekolah waktu itu.
Tapi ayah dan ibu tidak marah, karena ada juga kakak-kakak yang pernah tidak naik kelas. Ayah dan ibu tidak pernah menuntut kami harus mendapat peringkat sepuluh besar atau naik kelas dengan nilai gemilang.
Meskipun begitu, saya jadi malu pada diri sendiri, terutama pada ibu kalau saya membawa nilai jelek ke rumah dan sampai tidak naik kelas.
Untungnya, bisa dikatakan ibu tidak pernah kecewa dengan prestasi belajar saya. Malah, dapat dibilang saya bisa membuat ibu bangga di saat tuanya dengan predikat nilai tertinggi saat lulus meraih gelar sarjana.
Dari sekian banyak pelajaran hidup, ada 3 (tiga) yang menjadi top three.
1. Kehebatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak yang berjumlah tujuh orang di berbagai masa tanpa mengeluh
Kebanyakan ibu zaman sekarang, jangankan tujuh orang, satu orang saja sudah setengah mati mereka mengasuh dan membesarkan.
"Pusing saya, Pak Anton. Adi susah diatur..."
Begitu penuturan Bu Lina (bukan nama sebenarnya), salah satu kenalan yang berprofesi sebagai dosen dan suaminya juga berprofesi sebagai dosen. Adi (nama samaran) dititipkan pada neneknya, ibunya Bu Lina, dan Bu Lina beserta suami hanya bisa bertemu Adi pada malam hari setelah pulang bekerja.
Itu baru Bu Lina. Masih banyak ibu-ibu yang lain yang mengalami kesulitan dalam mendidik anak yang cuma satu atau dua saja.
Ibu saya yang cuma lulusan SMP yang pendidikannya tidak bisa dibandingkan dengan Bu Lina yang bertitel lebih dari S-1 tidak pernah mengeluh. Meskipun pendidikan cuma sampai SMP, Ibu bisa mengasuh, membesarkan, dan mendidik kami semua tanpa pernah sedikitpun mengeluh.
Dan lebih hebatnya lagi, ibu bisa menyiasati menu makanan harian di saat ekonomi keluarga terpuruk.Â
Saat bisnis ayah jatuh dan satu per satu aset seperti rumah, mobil, tanah harus dilepas demi melunasi utang, kehidupan terasa sulit bagi kami.Â
Kami menjadi "kontraktor". Setahun sekali pasti harus pindah ke rumah yang lain karena mencari rumah dengan tarif sewa yang lebih murah. Dan sebagai seorang "pemimpin" di rumah, ibu mendelegasikan tugas-tugas kepada kami, anak-anaknya, sesuai usia dan kemampuan.
Selain kemampuan dalam mengelola pembagian tugas, saya angkat topi untuk kreativitas ibu dalam mengolah bahan-bahan sederhana dan "itu-itu saja" menjadi olahan hidangan yang menggugah selera, meskipun dari sumber-sumber yang terbatas.
Misalnya, di hari Senin, ibu mengolah mie kuah dipadukan dengan sayur sawi; di hari Selasa, ibu membuat mie goreng dengan suwiran daging ayam; di hari Rabu, ibu menghidangkan martabak mie,...
Hanya dari satu bahan utama, yaitu mie, ibu bisa mengkreasikannya menjadi berbagai macam menu berbahan mie dengan nuansa yang berbeda.
Ibu bisa memenuhi kebutuhan hidup selama sebulan tanpa drama atau keluhan. Ayah sudah tidak punya usaha dan hidup kami sepenuhnya tergantung pada beberapa kakak yang sudah bekerja.Â
Ibu tak pernah mengeluh tentang minimnya keuangan keluarga. Beliau selalu berupaya bagaimana pun caranya supaya keluarga bisa makan dengan nyaman meskipun apa adanya.
"Makan yang ada ya, Ton. Syukuri apa yang bisa kita nikmati hari ini."
Ibu mengungkapkan kalimat itu dengan senyum di wajah. Beliau sendiri makannya sedikit. Mungkin supaya kami, anak-anaknya, bisa makan banyak dan tetap sehat, serta giat belajar.
"Jangan mengeluh dengan keadaan sesukar apapun."Â
Mungkin itu yang menjadi prinsip ibu dalam menghadapi kesulitan keuangan saat saya masih bersekolah di SMP, SMA, dan sewaktu saya masih berkuliah.
2. Mendidik anak dengan cara memberikan contoh langsung
Saya perhatikan, kebanyakan orang tua di masa ini lebih banyak "berceloteh", mengomel panjang kali lebar dibandingkan dengan memberikan contoh langsung lewat perbuatan nyata.
Bahkan sekelas dosen seperti Bu Lina juga mengalami kesulitan dengan anaknya dan sayangnya, hanya memarahi anak tanpa menyadari kalau dia yang sebenarnya bersalah karena terlalu ambisius dengan karier sehingga perhatian pada anak menjadi berkurang.
Ibu saya, meskipun bersekolah hanya sampai lulus SMP, beliau lebih bisa menangani anak, dan bukan hanya satu, tapi tujuh anak sekaligus!
Sampai-sampai ada komentar yang sempat menjadi candaan di antara kami, para guru di SD tempat saya mengajar dulu, "Ngurus anak satu saja sudah bikin pusing ortu zaman now. Orang tua zaman doeloe kok malah tak masalah dan tak mengeluh sama sekali," ujar Pak Gunawan (bukan nama sebenarnya), salah seorang rekan guru.
Ya, memang aneh kalau dipikir-pikir. Seharusnya ortu zaman now bisa lebih mengetahui kenapa mereka "bermasalah" dengan anak-anak mereka, apalagi di era membanjirnya informasi saat ini.
Ibu mendidik kami dengan memberikan contoh langsung. Saya ingat akan nilai-nilai moral, nilai-nilai kehidupan yang ibu tanamkan tanpa "terlihat" menggurui lewat aktivitas-aktivitas nyata dalam keseharian.
Contohnya lewat kecintaan merawat tanaman di kebun kecil di belakang rumah waktu saya masih berstatus siswa SD. Tanaman-tanaman seperti lidah buaya, bunga wijayakusuma, mawar, melati, suplir, dan lain sebagainya, semuanya menjadi "media pengajaran" yang ibu gunakan untuk mendidik kami akan nilai-nilai moral yang perlu kami terapkan dalam kehidupan.
Kedisiplinan, kerajinan, kegigihan, itu semua adalah nilai-nilai moral yang menjadi "bahan ajar", inti sari dari kegiatan berkebun. Lewat kegiatan secara langsung, bukan hanya belajar teori berkebun saja.
Begitu juga dengan memasak, membuat kue, dan lain-lain. Ada nilai-nilai moral di setiap kegiatan meskipun semakin tinggi jenjang pendidikan yang saya tempuh, semakin sedikit waktu yang tersedia bagi saya untuk membantu ibu, karena PR yang menumpuk.
3. Mengenalkan kecintaan akan buku pada anak tanpa paksaan, tapi lewat tindakan nyata
Buku, majalah, surat kabar, semuanya itu merupakan benda-benda yang umum didapati di rumah kami dulu.Â
Padahal ayah dan ibu cuma lulusan SMP, tapi mereka adalah pembaca yang lapar dan haus akan pengetahuan.Â
Membaca menjadi kebiasaan sejak kecil karena ayah dan terutama ibu sangat gemar membaca, sehingga kegemaran membaca menular pada anak-anaknya tanpa terkecuali.
Ada seorang kenalan, sebut saja Tina, yang mempunyai anak semata wayang bernama Alvin (bukan nama sebenarnya). Dia selalu mengeluh perihal anaknya yang tidak suka membaca dan hanya gemar bermain game online terlebih di saat Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) saat ini.
"Padahal aku sudah membelikan banyak buku, tapi dia tetap tidak suka membaca," Tina mengeluh.
Waktu saya berkunjung ke rumah Tina, saya tidak heran kenapa Alvin tidak suka membaca.
Ada tiga alasan.
Pertama, Fakta "banyak buku" tidak terbukti. Yang ada hanya beberapa buku cerita yang Tina belikan dan bisa dihitung dengan jari.
Kedua, Ayah Alvin tidak suka membaca, meskipun sang ayah bertitel S-2, Magister Hukum dari salah satu universitas negeri ternama di Indonesia. Aneh sekali kalau melihat hal tersebut. Robert (bukan nama sebenarnya), ayah Alvin, tidak suka membaca, padahal Robert lulusan S-2.
Ketiga, Tidak ada rak-rak buku menghias berbagai sudut ruangan di rumah Tina. Akibatnya buku tidak bisa diraih dengan mudah. Bagaimana Alvin bisa mempunyai minat baca kalau buku tidak ada dimana-mana?
Saya dan kakak-kakak beruntung karena banyak rak buku di rumah dan di dalamnya terdapat "harta" yang tak ternilai dengan uang, yaitu berupa buku-buku yang sangat bermanfaat, mulai dari majalah, buku ilmu pengetahuan, novel, buku cerita, sampai komik.Â
Ayah membeli rak-rak buku tersebut dan mengisinya dengan berbagai buku yang menarik. Ayah juga membelikan buku-buku kalau membawa kami ke toko buku. Kalau kami meminta dibelikan buku, ayah tidak berpikir panjang. Pasti dibelikan. Berbeda kalau meminta dibelikan mainan. Kebanyakan tidak dikabulkan. "Masih banyak kebutuhan kita yang lain yang lebih penting, Ton," begitu kata ayah, memberi pengertian.
Ibu juga suka membaca seperti ayah. Ayah dan ibu ibarat pasangan yang saling mengisi, mendukung kecintaan akan buku, sehingga kami pun, anak-anak mereka, jadi suka membaca tanpa diminta, karena kami melihat sendiri tindakan nyata membaca buku dari orang tua.
Ibu, menanamkan kecintaan akan buku, adalah guru pertama dalam kehidupan saya.
* * *
Tak akan habis tulisan yang bisa menggambarkan sosok ibu di mata saya dan kakak-kakak. Walaupun ibu sudah tiada, nilai-nilai kehidupan yang sudah beliau tanamkan pada kami akan tetap abadi, karena semua nilai tersebut tertanam lewat perbuatan nyata di kegiatan sehari-hari dalam keluarga.Â
Kiranya sekolah pun bisa mencontoh cara para ibu mendidik anak, karena mendidik seharusnya diberikan lewat perbuatan nyata, bukan hanya sekadar hafalan dan teori belaka.
"Mendidik seharusnya diberikan lewat perbuatan nyata, bukan hanya sekadar hafalan dan teori belaka"
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI