Untungnya, bisa dikatakan ibu tidak pernah kecewa dengan prestasi belajar saya. Malah, dapat dibilang saya bisa membuat ibu bangga di saat tuanya dengan predikat nilai tertinggi saat lulus meraih gelar sarjana.
Dari sekian banyak pelajaran hidup, ada 3 (tiga) yang menjadi top three.
1. Kehebatan ibu dalam mengasuh dan membesarkan anak yang berjumlah tujuh orang di berbagai masa tanpa mengeluh
Kebanyakan ibu zaman sekarang, jangankan tujuh orang, satu orang saja sudah setengah mati mereka mengasuh dan membesarkan.
"Pusing saya, Pak Anton. Adi susah diatur..."
Begitu penuturan Bu Lina (bukan nama sebenarnya), salah satu kenalan yang berprofesi sebagai dosen dan suaminya juga berprofesi sebagai dosen. Adi (nama samaran) dititipkan pada neneknya, ibunya Bu Lina, dan Bu Lina beserta suami hanya bisa bertemu Adi pada malam hari setelah pulang bekerja.
Itu baru Bu Lina. Masih banyak ibu-ibu yang lain yang mengalami kesulitan dalam mendidik anak yang cuma satu atau dua saja.
Ibu saya yang cuma lulusan SMP yang pendidikannya tidak bisa dibandingkan dengan Bu Lina yang bertitel lebih dari S-1 tidak pernah mengeluh. Meskipun pendidikan cuma sampai SMP, Ibu bisa mengasuh, membesarkan, dan mendidik kami semua tanpa pernah sedikitpun mengeluh.
Dan lebih hebatnya lagi, ibu bisa menyiasati menu makanan harian di saat ekonomi keluarga terpuruk.Â
Saat bisnis ayah jatuh dan satu per satu aset seperti rumah, mobil, tanah harus dilepas demi melunasi utang, kehidupan terasa sulit bagi kami.Â
Kami menjadi "kontraktor". Setahun sekali pasti harus pindah ke rumah yang lain karena mencari rumah dengan tarif sewa yang lebih murah. Dan sebagai seorang "pemimpin" di rumah, ibu mendelegasikan tugas-tugas kepada kami, anak-anaknya, sesuai usia dan kemampuan.
Selain kemampuan dalam mengelola pembagian tugas, saya angkat topi untuk kreativitas ibu dalam mengolah bahan-bahan sederhana dan "itu-itu saja" menjadi olahan hidangan yang menggugah selera, meskipun dari sumber-sumber yang terbatas.