Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Artikel Utama

Mengapa Mapel Bahasa Inggris Tidak Disukai oleh Kebanyakan Peserta Didik?

10 Oktober 2020   18:58 Diperbarui: 18 Oktober 2020   13:05 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi bosan belajar | Gambar oleh PublicDomainPictures dari Pixabay

“Saya tidak suka bahasa Inggris. Gak ngerti.”

Alasan ini tidak cuma sekali saya dengar dari beberapa murid les saya. Tentu saja yang mereka maksud di sini adalah mata pelajaran (mapel) bahasa Inggris yang diajar oleh guru di sekolah.

Beruntung, di tahun-tahun pertama saja saya pernah mendengar segelintir peserta didik saya yang mengatakan seperti itu sewaktu saya masih baru menjalani profesi sebagai guru bahasa Inggris di suatu Sekolah Dasar (SD) di Samarinda.

Setelah itu, bisa dikatakan saya tidak pernah mendengar nyinyiran atau komentar miring dari peserta didik tentang bahasa Inggris sebagai mapel yang tak disukai.

20 tahun lebih mengajar. Saya banyak mengamati beberapa rekan kerja yang juga berprofesi sebagai guru bahasa Inggris dan sejumlah nama guru bahasa Inggris yang saya dapatkan dari informasi beberapa murid les.

Tidak ada guru yang sempurna. Ada kelebihan dan kekurangan masing-masing. Hanya saja, sayangnya, kok tetap saja paradigma “mapel bahasa Inggris adalah mapel yang tak disukai oleh kebanyakan peserta didik” tak juga hilang dari benak mayoritas murid les saya.

Apa sebabnya? Mengapa mapel bahasa Inggris tidak disukai oleh kebanyakan peserta didik? Apa salah dan dosanya sehingga ia dibenci begitu rupa?

Berdasarkan pengamatan dan pengalaman, ada 3 (tiga) penyebab mengapa stigma itu bisa menempel di sanubari peserta didik.

1. Materi pelajaran yang tidak sesuai dengan usia peserta didik
Melihat materi pelajaran dari tingkat SD sampai SMA/SMK, saya merasa kebencian kebanyakan peserta didik akan mapel bahasa Inggris adalah hal yang wajar.

Mungkin Anda berpikir bahwa saya membicarakan tentang buku pelajaran. Tidak. Saya tidak membahas buku pelajaran, karena materi pelajaran sebenarnya berkaitan sangat erat dengan kurikulum. Buku pelajaran hanya mengikuti isi dari kurikulum.

Kurikulum yang menjadi persoalan.

Selama 20 tahun lebih, kurikulum mapel bahasa Inggris tidaklah jelas untuk tingkat SD, karena berstatus Muatan Lokal (Mulok). Artinya, secara sederhana, setiap daerah mempunyai kebijakan tersendiri perihal kurikulum mulok mapel bahasa Inggris.

Yang saya jengkelkan di awal tahun pertama saya mengajar di SD adalah materi pelajaran yang terlalu fokus pada tata bahasa (grammar) seperti Simple Present Tense, Present Continuous Tense, Simple Past Tense, dan lain sebagainya.

Seandainya hanya membicarakan tentang kalimat-kalimat sederhana seperti I get up at four o’clock in the morning, I take a bath and get dressed at five fifteen, I go to school at seven o’clock, dan sebangsanya, tentu saja tidak menjadi masalah. 

Yang menjadi persoalan adalah peserta didik SD dicekoki oleh kalimat positive (+), negative (-) dan interrogative (?) dalam berbagai tenses tersebut, karena materi pelajaran di buku menyajikan hal-hal tersebut. Anda bisa membayangkan bagaimana pusingnya mereka? Saya masih bisa mengingat kebingungan di wajah-wajah mereka.

Kurikulum Mulok Bahasa Inggris untuk SD memang tidak jelas. Saya tidak perlu menjelaskan ketidakjelasan perihal Standar Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar (KD) karena tulisan ini akan menjadi sangat panjang dan membosankan kalau dijelaskan secara panjang kali lebar. Mungkin akan saya bahas di tulisan terpisah.

Yang jelas, mayoritas buku pelajaran bahasa Inggris untuk SD “menyuarakan” kemampuan berbahasa yang sama. Kebanyakan dari mereka sepertinya sepakat bahwa grammar adalah harga mati.

SMP dan SMA/SMK mempunyai kurikulum sahih yang sudah bertahun-tahun diterapkan karena status mapel bahasa Inggris sebagai mata pelajaran wajib dan termasuk salah satu mapel yang diujikan dalam Ujian Nasional (yang sekarang sudah tinggal kenangan).

Sayangnya, materi pelajaran yang "diterjemahkan" dari kurikulum sepertinya hanya berfokus pada pemahaman bacaan (Reading Comprehension) dan “sedikit” pengetahuan seputar menulis; seperti menulis teks deskripsi (Descriptive Text), teks eksposisi (Exposition Text), teks argumentatif (Argumentative Text), teks prosedur (Procedure Text), dan lain-lain.

Berbicara atau speaking sebenarnya ada, tapi mendapat porsi waktu yang sangat sedikit. Hasilnya sudah bisa ditebak. Speaking Ability atau kemampuan berbicara dalam bahasa Inggris yang dimiliki oleh peserta didik sangatlah rendah.

Apakah level reading comprehension menunjukkan peningkatan yang signifikan? Saya bisa mengatakan kalau tidak ada hasil yang signifikan. Beberapa murid les yang sebentar lagi berstatus mahasiswa dan mahasiswi (kalau diterima di perguruan tinggi idaman) tidak mempunyai perbendaharaan kata yang memadai. Bahkan untuk membedakan kapan memakai good evening dan good night saja tidak tahu. 

Terlalu fokus pada membaca saja dengan alasan lebih mudah diukur kemajuannya dalam angka atau nilai yang mungkin lima atau sepuluh tahun lagi sudah basi alias tak berbekas kemampuan pemahaman membacanya.

Materi tidak sesuai dengan usia peserta didik dan juga tidak membebaskan guru untuk berkreasi, terkunci dengan aturan “menyuapi” peserta didik dengan materi “siap santap” yang sebetulnya jauh dari kata nikmat.

2. Pembawaan guru yang killer
“Pak C orangnya gak asyik, Pak. Gak ada senyumnya. Serius terus. Kita disuruh baca, lalu kerjakan tugas…”

“Bu D jarang ngajar, karena sering ikut seminar dan pelatihan. Kami cuma disuruh kerjakan tugas dari buku paket dan LKS…”

Alasan-alasan klasik. Guru bahasa Inggris memberikan segebung tugas dan sibuk dengan segala pelatihan yang ilmunya lenyap sesudahnya, tak dipraktikkan di dalam mengajar. Tentu saja, tidak semua guru bahasa Inggris seperti di atas. Ada juga yang berdedikasi tinggi dalam mengajar.

Namun dari sekian banyak persoalan perihal teknis mengajar, yang menjadi jurang pemisah antara peserta didik dan guru bahasa Inggris adalah pembawaan kebanyakan guru bahasa Inggris yang killer, jauh dari kata ‘ramah’. Terlalu formal, kaku, dan to the point alias hanya menjelaskan sedikit, lalu memberikan tugas yang banyak. 

Guru memberikan tugas dan peserta didik harus menerima tugas tanpa protes. Tentu saja, tidak semua guru bahasa Inggris seperti itu. Namun seperti peribahasa yang berbunyi “Karena nila setitik, rusak susu sebelanga”, maka cap guru bahasa Inggris tidaklah baik dipandang. Gara-gara kebanyakan guru bahasa Inggris berperilaku killer , guru-guru bahasa Inggris lain yang berdedikasi tinggi pun jadi kena getahnya.

Saya pun sempat begitu. Killer, keras pada peserta didik. Misalnya, saya dulu tidak menoleransi peserta didik yang terlambat masuk ke dalam kelas, meskipun baru pertama kali dia terlambat. Saya juga dulu memarahi peserta didik yang tidak mengerjakan PR, walaupun juga baru pertama kali alpa, melalaikan tanggung jawab.

Seiring waktu berjalan, saya menyadari kekeliruan saya. Peserta didik juga manusia; dari latar belakang yang berbeda; berasal dari tingkat ekonomi keluarga yang berlainan; juga tidak sama minat dan kesukaannya akan berbagai mata pelajaran.

Saya pun bertobat dan kembali ke jalan yang benar. Berusaha terus memperbaiki diri dan mengerti akan peserta didik.

3. Metode pengajaran yang “begitu-begitu saja”
Saya sudah membahas sebelumnya mengenai metode mengajar yang “usang” dan masih digunakan oleh kebanyakan guru sekolah di tulisan saya terdahulu, yaitu metode ceramah, metode pengajaran yang menjadi andalan tetap.

Tidak salah kalau menggunakan metode ceramah. Hanya saja, kalau sekadar mengandalkan satu metode, tentu saja tidak elok. Terkesan guru tidak kreatif dan cuma menjalankan rutinitas membosankan setiap harinya.

Jangan cuma saat disupervisi oleh pengawas baru sibuk mempersiapkan segala perlengkapan mengajar, tetapi sewaktu tak ada supervisi, kembali lagi ke “selera awal” yaitu metode ceramah.

Sebenarnya di saat sekarang ini, sangatlah mudah mempelajari berbagai hal. Internet memudahkan untuk mendapatkan berbagai informasi. Sewaktu saya berkuliah dulu, andalan saya dalam menggali ilmu hanyalah buku.

Namun sekarang, sumber belajar sangat berlimpah. YouTube, blog, komunitas guru di dunia maya, dan lain sebagainya, kesemuanya sangatlah membantu sekali. 

Saya mendapat banyak manfaat dari internet untuk mengembangkan kompetensi mengajar. Ternyata ada berbagai metode mengajar, teknik mengajar, dan media-media mengajar bahasa Inggris yang menarik dari belahan dunia yang lain.

Beberapa sudah saya praktikkan. Tentu saja, tidak plek begitu saja, tapi sudah saya modifikasi. Saya sesuaikan dengan kondisi peserta didik di sekolah tempat saya mengabdi.

Saran untuk perbaikan
Saya tidak menganggap diri lebih dari rekan guru bahasa Inggris yang lain. Masih ada yang lebih senior dibanding saya dan yang muda juga bukan berarti kurang kompetensinya. Mungkin malah ada guru junior yang kemampuannya melebihi guru senior. 

Kita saling melengkapi. Saya pun masih terus belajar sampai saat ini dan entah sampai kapan saya menjalani profesi ini, saya akan terus belajar.

Dalam hal ini, saya ingin memberikan sedikit saran buat rekan guru bahasa Inggris dimanapun Anda berada.

Ada tiga saran.

1. Pembenahan kurikulum mapel bahasa Inggris yang mengedepankan keterampilan berbahasa Inggris, bukan sekadar nilai bagus semata
Pemerintah dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan perlu membenahi kurikulum mapel bahasa Inggris, supaya lebih mengedepankan keterampilan berbahasa Inggris secara nyata. 

Guru juga harus lebih memfokuskan pada keterampilan berbahasa Inggris peserta didik secara aktif. Nilai penting, tapi apa gunanya kalau untuk berbicara dalam bahasa Inggris masih terbata-bata.

2. Guru bahasa Inggris perlu menjalin komunikasi yang baik dengan peserta didik dan orang tua murid
Berkomunikasi secara baik dengan peserta didik dan orang tua murid adalah suatu keharusan, demi mencapai gemilangnya prestasi belajar, karena peserta didik bukanlah obyek, tapi subyek yang akan mengambil alih tongkat kepemimpinan menggantikan kita kelak.

3. Guru perlu meningkatkan kualitas kompetensi mengajar
Meningkatkan kompetensi dalam mengajar perlu dilakukan, apalagi kalau sudah mendapat sertifikasi. Buktikan Anda layak mendapatkannya dengan menunjukkan kalau Anda mengajar dengan baik dan peserta didik bukan saja mendapat nilai yang memuaskan, namun juga menikmati proses belajar mengajar di dalam kelas.

Selagi masih belum aktif mengajar secara tatap muka langsung; tetap giat belajar, teruslah menggali ilmu mengajar sebanyak-banyaknya. Dengan begitu, saat proses belajar mengajar di sekolah kembali aktif, Anda sudah mempunyai “banyak amunisi” untuk mengajar, menjalankan tugas demi keberhasilan peserta didik.

Karena tujuan sebenarnya dalam belajar bahasa Inggris adalah “membisakan” bukan “membisukan”.

Baca juga: 3 Saran yang Kiranya Bermanfaat bagi Rekan Guru Sekolah di Saat Pandemi Covid-19

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun