Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

3 Kriteria PR Ideal untuk Anak Sekolahan Saat #BelajarDiRumahSaja

1 April 2020   11:12 Diperbarui: 1 April 2020   20:07 211
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar : www.childrenandscreens.com

#BelajarDiRumahSaja masih berlanjut. Untuk di Samarinda saja, proses belajar di rumah tetap berlanjut sampai tanggal 15 April 2020. Akibat yang terlihat jelas adalah :

1. Anak sudah bosan di rumah saja

Anak bosan, karena tidak bisa bermain bersama teman-teman, dan anak mendapati kenyataan bahwa ternyata "guru di rumah" lebih sangar daripada di sekolah (menurut pengakuan beberapa murid saya lewat WA ^_^), membuat mereka rindu akan sekolah. 

2. Guru sudah lelah dengan pembelajaran daring

Kalau ada yang bisa pakai Google Classroom, Zoom, atau aplikasi-aplikasi lain yang serupa, sangat membantu, meskipun faktor lelah dan njelimet melanda, apalagi kalau menimpa pada beberapa guru yang awam soal penggunaan aplikasi-aplikasi tersebut. 

Sayangnya, tidak semua daerah di Indonesia mempunyai akses internet yang memadai untuk pembelajaran daring, sehingga ujung-ujungnya, WhatsApp (WA) menjadi andalan mengirim soal-soal PR yang peserta didik harus kerjakan.

Baca juga : 4 Langkah Mudah Cara "Kirim PR" untuk Guru dan Orangtua saat Corona Melanda

Capek? Tentu. Menerima "berondongan" pertanyaan dari orangtua murid dan murid perihal soal yang kurang jelas, plus memeriksa tugas murid lewat laptop (kalau punya) atau hape (kalau tidak punya laptop) membuat mata pedih tak terkira. 

Jadi, kalau ada yang bilang, guru makan gaji buta, lebih baik tanyakan langsung ke teman-teman yang berprofesi sebagai guru, atau lihat sendiri saat mereka, para guru, "bekerja di rumah", supaya tahu kondisi yang sebenarnya. Guru-guru, kalau disuruh memilih, lebih suka mengajar langsung, tatap muka, dibanding lewat daring begini! Capek! Memeriksa tugas yang tidak sedikit! Ribet! 

3. Orangtua yang pusing mendidik anak di rumah

Orangtua kewalahan dalam mendidik putra-putri tersayang. Bukan saja disibukkan dengan mencari nafkah, namun juga harus memastikan anak mendapat asupan gizi yang seimbang, dan membantu anak dalam mengerjakan tugas-tugas yang diberikan oleh guru-guru.

Jalan tengah bagi anak, guru, dan orangtua

Ini sekadar masukan dari saya, supaya anak, guru, dan orangtua tidak terbebani dengan tugas-tugas, PR-PR yang bertumpuk. 

Hemat saya, biarlah masa saat ini anak juga mendapat kesempatan untuk mengembangkan talenta mereka di bidang-bidang lain di luar mata pelajaran sekolah. Dengan begitu, anak-anak mendapat wawasan baru. Bukan sekadar terus-menerus mengerjakan PR tanpa henti.

Dalam hal ini, saya pikir, karena profesi saya yang juga sebagai guru, 3 kriteria PR ideal versi saya ini bisa menjadi jalan tengah bagi semua pihak, baik itu untuk anak, guru, dan orangtua. Supaya mendapat win-win solution. 

Anak tidak terbebani dengan PR yang seabrek.

Guru tidak pusing pala barbie memeriksa tugas murid di laptop atau hape. 

Orangtua tidak panik dan tidak jengkel waktu menemani anak mengerjakan PR. 

3 kriteria PR ideal untuk anak sekolahan menurut saya adalah : 

1. "Menyesuaikan" tingkat kesulitan soal, ada yang mudah dan ada yang "sedikit" sukar

Saya pribadi, kalau disuruh memilih, pasti memilih pertanyaan-pertanyaan mudah seperti "Sebutkan...", "Apa yang dimaksud dengan...", atau "Apa saja ciri-ciri...", daripada pertanyaan-pertanyaan yang mengandung kata-kata "Jelaskan...", "Bagaimana cara...", atau "Mengapa...".

Pertanyaan-pertanyaan dengan kata-kata "sebutkan", dan yang sejenisnya tidak membutuhkan banyak waktu dan pemikiran. Berbeda dengan pertanyaan-pertanyaan dengan kata-kata awal "jelaskan", "bagaimana", dan "mengapa" yang membutuhkan penjabaran "sedikit lebih panjang" dibanding tipe pertama.

Itu tadi kalau saya sebagai murid. 

Kalau sebagai guru, tentu saja, lebih mudah menilai soal-soal tipe pertama daripada tipe kedua. 

Tidak salah kalau guru memberikan pertanyaan tipe pertama (sebutkan, apa arti, apa ciri-ciri, dan lain-lain), namun janganlah semua soal bertipe satu semua. 

Kombinasikan dengan soal-soal dengan tingkat kesulitan "sedikit" lebih tinggi yaitu tipe kedua tadi (jelaskan, bagaimana, mengapa, dan sebagainya), sehingga peserta didik tidak hanya bisa menjawab secara textbook, sesuai yang tertulis di buku, namun juga dapat memberikan penjelasan dengan kata-kata sendiri tentang apa yang mereka sudah baca di buku).

2. Jumlah soal tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak 

Jumlah soal, ini yang sering menjadi perdebatan di benak saya, sebelum maupun saat Covid-19 ini melanda. 

Kecenderungan kebanyakan guru dan orangtua pada umumnya, lebih baik banyak PR daripada sedikit, atau tidak ada sama sekali. Anak tidak akan belajar dengan giat kalau tidak ada PR atau PR-nya cuma sedikit. 

Pertanyaannya : Apakah benar begitu? Apakah benar anak tidak akan belajar dengan giat kalau tidak ada PR? Apakah benar anak tidak akan belajar dengan giat kalau PR-nya cuma sedikit?

Saya tidak sepenuhnya sependapat, karena sudah terpampang nyata, kebanyakan orangtua yang saya lihat malah mengerjakan PR anak karena guru memberikan PR yang terlalu banyak. Sebagai contoh, saya sudah menceritakan di artikel sebelumnya kalau ada guru sekolah yang memberikan PR sampai 40 bahkan sampai 100 nomor, dan ujung-ujungnya, orangtua dan guru lesnya yang mengerjakan PR tersebut. 

Baca juga : Orangtua Mengerjakan PR Anak, Salahkah?

Menurut saya, berdasarkan pengalaman selama 20 tahun lebih sebagai guru, peserta didik yang sopan, rajin, dan berprestasi adalah karena orangtua mereka menanamkan disiplin dan nilai moral yang baik di rumah. 

Jadi bukan karena guru, sebab guru harus mengurus begitu banyak peserta didik, sehingga tidak boleh berat sebelah, tidak boleh lebih memperhatikan yang satu dan tidak mengindahkan yang lain. 

Berdasarkan pengalaman, 5 (lima) soal untuk satu mata pelajaran (mapel) di satu hari sudah lebih dari cukup dan dikumpulkan esok atau lusa. Tidak terlalu sedikit dan tidak terlalu banyak. 

Itu menurut saya. Kalau ada rekan-rekan guru yang tidak sependapat, bisa menuliskan di tulisan lain. Sah-sah saja. Karena beda orang, pasti beda pendapatnya.

Yah, kita kalkulasi saja. Semisal ada 30 murid dalam satu kelas, dan setiap murid mendapat lima soal, berarti 30 murid X 5 soal sama dengan 150 nomor. Guru harus memeriksa 150 jawaban murid!

Itu baru satu kelas! Bayangkan, kalau guru bahasa Inggris yang mengajar sembilan kelas di SD, ada berapa jawaban yang harus dia periksa? Yah, Anda sudah bisa membayangkan betapa pegalnya tangan dan penatnya kepala guru, bukan ^_^?

3. Tanggal penyerahan tugas yang realistis; tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lama

"Masa guru ngasih PR pagi, lalu murid harus setor PR ke guru paling lambat sore jam 5 di hari yang sama!"

Ini salah satu keluhan dari Pak Charlie (nama samaran), salah satu orangtua murid les saya, yang jengkel dengan guru sekolah anaknya yang tidak "mengerti" akan toleransi di kondisi saat ini. 

Tidak semua orangtua mempunyai pekerjaan yang bisa dilakukan di rumah. Termasuk Pak Charlie beserta istri yang sama-sama bekerja. Pak Charlie bekerja di perusahaan swasta dan sang istri di bank. Jadi mereka tentu saja harus pergi bekerja sehingga tidak bisa menemani anak mengerjakan PR di pagi dan siang hari.

"Katakan saja lewat telepon perihal kondisi Anda dan istri, karena Anda berdua harus bekerja, sehingga tidak bisa menemani anak mengerjakan PR. Negosiasikan waktu penyerahan tugas," Saya memberikan saran.

Pak Charlie menuruti saran saya, menelepon sang guru, dan akhirnya guru tersebut memberikan kelonggaran waktu. Boleh mengumpulkan PR paling lambat jam sembilan malam. 

Intinya di sini adalah guru harus menyadari kalau tidak semua orangtua bisa bekerja dari rumah, karena tidak semua tempat kerja memungkinkan cara itu. 

Demikian juga sebaliknya, orangtua jangan juga langsung emosi kalau melihat tenggat waktu atau deadline pengumpulan PR dirasa "kurang manusiawi". Diskusikan dengan guru lewat telepon. Bicarakan baik-baik. Pasti akan ketemu titik tengah untuk kebaikan bersama.

Semua ada nilai positifnya 

Apapun juga yang terjadi saat ini, selayaknya kita mengambil sisi positif dari setiap peristiwa, bahwa :

1. Anak jadi menyadari bahwa segarang-garangnya guru di sekolah, lebih garang lagi "guru di rumah" ^_^ (dari sudut pandang anak). 

2. Guru jadi lebih bisa memahami peserta didik sewaktu mereka belajar di rumah dan juga bisa lebih mempererat tali komunikasi dengan orangtua murid.

Peristiwa #belajardirumahsaja memberi esensi itu (dari sisi guru dan pendidik). 

3. Orangtua jadi menyadari bahwa pendidikan itu sebenarnya berasal dari rumah secara utuh dan menyeluruh. 

Sekolah hanya mengambil peranan yang kecil dalam mendidik putra-putri tercinta. Lewat peristiwa "terpaksa" harus mendidik dan mengajar buah hati di rumah, orangtua sedikit banyak menyadari bahwa tugas mendidik itu tidak mudah, dan oleh karena itu, orangtua harus lebih pro aktif terlibat langsung dalam mendidik anak dan lebih pro aktif dalam menjalin tali silaturahmi dengan guru, sehingga harapan kelak anak bisa menjadi manusia Indonesia seutuhnya yang berkelakuan baik, jujur, dan berguna bagi bangsa dan negara niscaya bisa terwujud (dari sisi orangtua). 

Akhir kata, kita doakan, semoga badai covid-19 ini segera berlalu, sehingga kehidupan pendidikan di Indonesia kembali normal, dan Indonesia bisa menjejakkan kaki selangkah demi selangkah lagi ke arah kemajuan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun