Mohon tunggu...
Hamdali Anton
Hamdali Anton Mohon Tunggu... Guru - English Teacher

Saya adalah seorang guru bahasa Inggris biasa di kota Samarinda, Kalimantan Timur. || E-mail : hamdali.anton@gmail.com || WA: 082353613105 || Instagram Custom Case : https://www.instagram.com/salisagadget/ || YouTube: English Itu Fun

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Pokoknya..."

7 Mei 2018   11:31 Diperbarui: 7 Mei 2018   11:42 967
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : @Gambaran_hati

"Pokoknya ini bukan ...!"

Saya sih sebenarnya malas berdebat, namun kalau seandainya ada orang seperti ini, yang pongah, sombong, merasa lebih pintar, saya justru tertantang untuk mengetes tingkat kecerdasannya ^_^.

"Saya sudah ikut banyak pelatihan di pulau Jawa, dan semua mengajarkan kalau yang seperti ini bukan itu."

"Oh, sudah ikut banyak pelatihan di Jawa ya, Bu? Biaya sendiri?"

"Tidak. Biaya dari pemda."

"Oh begitu. Ya udah, kalau memang ini bukan, coba tolong Anda jelaskan ke saya yang bodoh dan nggak pernah ikut pelatihan ke Jawa sama sekali soal indikator-indikator yang menjelaskan kenapa ini dikatakan bukan itu."

"Sudahlah, tidak perlu saya jelaskan! Pokoknya ini bukan itu!"

Dia pun langsung ngeloyor pergi.

Saya cuma geleng-geleng kepala.

Percuma bicara dengan orang yang sebenarnya mendapat ilmu secara gratis, namun sayangnya pelit membagi ilmu ke orang lain.

Atau mungkin karena cuma hobi ngumpulin sampah ilmu dan sertifikat, sehingga hanya numpuk di otak dan harddisk laptop, tapi tidak diterapkan di sekolah?

Saya sih berpikiran kalau kedua-duanya benar ^_^.

Setelah itu, waktu semester dua, kami berbeda dalam tim penulisan soal.

Dia pindah ke mata pelajaran lain.

Saya sih tidak ambil pusing.

* * *

Tak lama, saya mendengar dia menjadi guru berprestasi (apa indikator-indikatornya ^_^?) dan lalu menjadi kepala sekolah di sekolah inti.

Namun tidak lama dia dimutasi ke sekolah lain yang lebih kecil.

"Terlalu cepat mengorbit. Belum ada pengalaman menjadi kepsek, sudah ditempatkan di sekolah besar. Harusnya di sekolah kecil dulu. Nanti pelan-pelan naik ke sekolah yang lebih besar. Lha ini dari guru biasa langsung jadi kepala sekolah di sekolah inti. Ya, muntah lah."

Ini pandangan dari salah seorang guru di SD bersangkutan, yang kebetulan teman saya juga.

* * *

Bagi saya pribadi, saya tidak terlalu mempermasalahkan 'kengototan' Bu Vina (bukan nama sebenarnya).

Sudah sekitar sepuluh tahun yang lalu, percakapan 'pokoknya ..." itu terjadi.

Entah mengapa saya tertarik untuk menulis tentang 'pokoknya ...' ini, yang menggambarkan kalau Bu Vina tidak mau kalah atau terlihat bodoh atau terdesak karena tidak ingat apa indikator-indikator yang saya tanyakan.

Bukannya berkata "Saya lupa, Pak, apa indikator-indikatornya. Nanti saya fotokopikan bahan-bahan materinya untuk Bapak," tapi malah bersikeras kalau dia benar dan lebih pintar dengan mengatakan, "Pokoknya ...."

Saya juga teringat dengan salah seorang saudara saya yang suka mau menang sendiri, dan kebetulan juga wanita.

Yang laki-laki juga ada sih. Sama saja sebenarnya ^_^.

Merasa lebih tua dan lebih banyak pengalaman, sehingga berkata, "Pokoknya berubahlah. Itu salah."

Saya sih malas berdebat, karena selain sudah ada pengalaman dengan Bu Vina tadi, tipikal saya adalah melankolis.

Malas komentar, tapi lebih suka menuangkan dalam bentuk tulisan.

Menjadi Tua itu Pasti. Menjadi Dewasa itu Pilihan.

Bagi saya, mereka, baik Bu Vina maupun saudara-saudara saya, merasa lebih senior, lebih berpengalaman, lebih bijak dan lebih-lebih yang lain, namun sayangnya mereka tidak bisa menyampaikan pengalaman atau pengetahuan mereka dengan bijak dan dewasa.

Pokoknya ... menjadi andalan 'ngeles' ketakberdayaan mereka, sempitnya kedewasaan mereka untuk mengakui kalau sebenarnya mereka salah.

Dewasa tidak mengenal usia.

Anak muda usia 20 tahun pun bisa terlihat lebih dewasa dari usia yang sebenarnya, kalau bisa membawa diri, berkarya, senang membaca buku, menulis buku atau artikel di blog seperti ini, mengikuti kegiatan-kegiatan yang positif, dan lain sebagainya.

Bagi saya, anak-anak SD pun ada juga yang berpikiran dewasa.

Saya sih berharap, pengalaman seperti ini menyadarkan saya sendiri, syukur-syukur Bu Vina (kalau sekarang saya nyindir ^_^) atau saudara-saudara saya, kalau jangan merasa tinggi hati, sombong kalau sudah berada dalam posisi atau jabatan yang tinggi.

Tetap rendah hati, humble, dan menganggap orang lain, meskipun tukang sapu jalan sekalipun, mempunyai kemampuan dan pemikiran yang mungkin tidak kita punyai.

Yang pasti, mereka adalah ciptaan Tuhan, sama seperti kita.

Jadi tetap menghargai siapa pun dan kalau melakukan kesalahan, akui; kalau tidak tahu, bilang tidak tahu. Jangan berlagak sok tahu ^_^.

Saya juga kadang-kadang lupa kalau saya banyak kekurangan.

Dengan menuliskan pengalaman ini, selain mengingatkan saya, juga semoga bisa memberikan pencerahan kepada Anda semua, bahwa mau menang sendiri seperti Bu Vina tadi bukanlah solusi untuk memecahkan masalah ^_^.

'Pokoknya ..., pikirkan dengan cermat sebelum mengatakan 'pokoknya ...'.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun