Pada 23 April 2025 lalu, sebuah insiden sederhana namun menyentuh akal sehat terjadi di Cimahi, Jawa Barat. Seorang penjaga kedai lemon, dengan niat tulus, mengucapkan "hati-hati" kepada seorang pembeli yang hendak pergi. Ucapan sopan yang biasa kita dengar dalam percakapan sehari-hari ini justru memicu kemarahan.
Si pembeli menanggapi dengan reaksi tak terduga: ia menuduh kata "hati-hati" sebagai simbol radikalisme, bahkan menyamakan ucapan itu dengan narasi ekstrem seperti "ISIS" dan "teroris." Tuduhan disertai umpatan emosional, seperti "kamu kurang ajar," menciptakan suasana yang tegang dan tak seharusnya terjadi.
Kejadian ini segera menyebar di media sosial dan mendapat banyak simpati. Warganet berdiri di sisi si penjaga kedai, menyayangkan bagaimana kebaikan bisa disalahpahami hanya karena prasangka yang keliru.
Apa yang bisa kita pelajari dari kejadian ini?
Pertama, penting untuk menyadari bahwa bahasa bukan hanya soal kata, tapi juga niat. "Hati-hati" adalah bentuk perhatian yang sudah mendarah daging dalam budaya kita, bukan sesuatu yang patut dicurigai. Kedua, literasi emosional harus menjadi bagian dari pembelajaran sosial kita. Tak semua hal harus dibalas dengan emosi. Kadang, diam dan memahami lebih bijak daripada menyerang.
Ketiga, ini menjadi pengingat bahwa stigma dan prasangka bisa membunuh makna. Kita butuh lebih banyak ruang untuk empati, bukan curiga. Lebih banyak telinga untuk mendengar, bukan lidah untuk menghakimi.
Semoga kita bisa menjadi masyarakat yang tak mudah tersulut oleh asumsi. Yang menjaga kata-kata, tapi juga menjaga hati. Karena pada akhirnya, niat baik yang tak dipahami hanya akan tumbuh jika kita bersama belajar menjadi lebih bijak.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI