Mohon tunggu...
parjo
parjo Mohon Tunggu... .

Deus caritas est

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Panggung yang Tertukar

4 Oktober 2025   03:11 Diperbarui: 4 Oktober 2025   03:11 66
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Josh Applegate on Unsplash       

Kriet... (suara pintu dibuka)

"Hei ini yang ke enampuluh lima," bisikku lirih.

"Bukan. Enampuluh enam," balas Tia singkat lalu segera melenggang ke depan untuk menyambut seorang laki-laki paruh baya yang selalu datang dengan tawanya yang renyah. Suaranya sangat khas, kata orang sedikit nge-bass, serak-serak basah, mungkin bisa disamakan dengan almarhum Gito Rollies. Setelah mencium tangannya, Tia mempersilakan beliau duduk dan menanyakan minuman yang hendak dipesan.

"Tanganku kok tidak di-mmmuah Ya?"

"Wee enak aja, sana cepet ambilin asbak, kasih ke bapak"

Tia adalah barista yang handal. Dalam waktu singkat pesanan minuman siap diantar. Seperti biasa, kopi hitam yang diseduh dengan suhu yang tidak terlalu panas, menggunakan biji single origin arabica, dan tidak pakai gula. Lalu camilan setianya sudah pasti singkong goreng original tanpa taburan bumbu atau bubuk cabe.

Sssh... bapak membakar sebatang rokok kretek kesukaannya lalu menghisapnya kuat-kuat. Aku yang berada tidak jauh dari beliau segera beranjak mendekat dan menyerahkan asbak.

"Silakan bapak"

"Ah kau, baik kali kau mas"

"Sudah tugas saya bapak. Ngomong-omong, maaf bapak, bapak tidak dapat giliran lagi sore ini?" tanyaku berbasa-basi. Beliau hanya tertawa kecil sambil menggerak-gerakkan tangannya, menirukan gaya seorang aktor di sebuah panggung pertunjukkan lalu kembali menghisap rokok kreteknya. Kali ini asap tebal kreteknya membuat pikiranku melayang-layang pada banyak kejadian yang telah lalu...

Ketika panggung pelayanan dan penyembahan menjadi rebutan banyak orang untuk tujuan show off melalui kemampuan mereka bernyanyi, koor, membaca kitab suci, dan banyak hal lainnya. Sedangkan yang empunya hanya bisa terdiam, terpaku di salib, di dinding, tanpa penghargaan. Dan ini juga adalah minggu ke enampuluh enam, sejak bapak mulai tidak disukai lagi karena katanya tidak lucu kotbahnya, terlalu lama homilinya. Anak-anak muda bilang: "Ketinggalan jaman!" Ibu-ibu dan bapak-bapak kata, "Kelamaan misa-nya!"

"Mending romo muda, sudah ganteng, suaranya bagus, homilinya lucu, dan misanya cuma setengah jam!" Dan perlahan-lahan panggung pun jadi milik romo muda. Selalu diberi applaus saat homili, ditepuk tangani ketika bernyanyi, dan dihadiri banyak umat saat memimipin misa minggu pagi. Aku mulai berpikir, bukankah seharusnya nama-Nya yang ditinggikan? Kalau nama kita lebih besar apakah itu benar sebuah pelayanan? Bukan panggung yang tertukar?

Sssh... uhuk huk huk...

"Mas, mas, panggung itu milik Tuhan, penyembahan kepada Tuhan. Mimbar dan altar bukan sebuah panggung pertunjukan, bukan untuk mencari ketenaran, apalagi nama besar. Sudah seharusnya nama kita makin kecil dan nama-Nya makin besar"

"Dan juga jangan ada tepuk tangan dalam ekaristi karena liturgi bukan sebuah pertunjukkan melainkan penyembahan kepada Tuhan"

"Eh bapak, eh romo, maaf"

"Maaf saya kok jadi melamun," balasku malu karena terlena dalam lamunan.

"Ssst.. kalau disini, jangan panggil aku romo ya?"

"Baik romo, eh bapak"

.

.

Daftar pustaka:

Katekese

Catatan:

Misa/ekaristi: ibadah umat Katolik

Romo: Pastur

Homili/Kotbah: penjelasan mengenai isi kitab suci

Liturgi: tata cara dalam melakukan ekaristi 


.

.

.

Rindunya aku 'tuk melayani-Mu

Parjo

   

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun