Ketika panggung pelayanan dan penyembahan menjadi rebutan banyak orang untuk tujuan show off melalui kemampuan mereka bernyanyi, koor, membaca kitab suci, dan banyak hal lainnya. Sedangkan yang empunya hanya bisa terdiam, terpaku di salib, di dinding, tanpa penghargaan. Dan ini juga adalah minggu ke enampuluh enam, sejak bapak mulai tidak disukai lagi karena katanya tidak lucu kotbahnya, terlalu lama homilinya. Anak-anak muda bilang: "Ketinggalan jaman!" Ibu-ibu dan bapak-bapak kata, "Kelamaan misa-nya!"
"Mending romo muda, sudah ganteng, suaranya bagus, homilinya lucu, dan misanya cuma setengah jam!" Dan perlahan-lahan panggung pun jadi milik romo muda. Selalu diberi applaus saat homili, ditepuk tangani ketika bernyanyi, dan dihadiri banyak umat saat memimipin misa minggu pagi. Aku mulai berpikir, bukankah seharusnya nama-Nya yang ditinggikan? Kalau nama kita lebih besar apakah itu benar sebuah pelayanan? Bukan panggung yang tertukar?
Sssh... uhuk huk huk...
"Mas, mas, panggung itu milik Tuhan, penyembahan kepada Tuhan. Mimbar dan altar bukan sebuah panggung pertunjukan, bukan untuk mencari ketenaran, apalagi nama besar. Sudah seharusnya nama kita makin kecil dan nama-Nya makin besar"
"Dan juga jangan ada tepuk tangan dalam ekaristi karena liturgi bukan sebuah pertunjukkan melainkan penyembahan kepada Tuhan"
"Eh bapak, eh romo, maaf"
"Maaf saya kok jadi melamun," balasku malu karena terlena dalam lamunan.
"Ssst.. kalau disini, jangan panggil aku romo ya?"
"Baik romo, eh bapak"
.
.