Pimpinan Yayasan Rumah Lengger Banyumas, Rianto Lengger Lanang, menjadi salah satu narasumber dalam kegiatan Seminar dengan tema “Mengangkat Identitas, Menjaga Warisan: Perlindungan Hukum Folklore Banyumas dalam Perspektif Hukum Kekayaan Intelektual” pada Sabtu, 19 April 2025 di Kampus B Universitas Harapan Bangsa, Purwokerto, Banyumas, Jawa Tengah yang menyampaikan sejarah dan perjuangannya dalam menjaga kelestarian Lengger Banyumas di kancah internasional.
Metamorfosa Seni Lengger Banyumasan (Rianto, 2021) yang menjadi karya tulis Rianto mengungkapkan Lengger merupakan figur ekspresi estetis kebudayaan Banyumas. Tradisi lengger telah berlangsung selama ratusan tahun dan lahir dari rahim kaum tani Banyumas Jawa Tengah yang konon mengkreasikan lengger sebagai bagian ritus kesuburan (agriculture ceremonies). Lengger dengan penari pria berdandan wanita berkembang sejajar dengan ronggeng dan ledhek atau tandhak (juga disebut tayub). Istilah “lengger” dikenal sebagai jarwo dhosok (kata bentukan) yang berarti diarani leng jebulane jengger. “Leng” adalah simbolisasi kelamin wanita, sedangkan “jengger” adalah simbolisasi kelamin pria. “Lengger” bermakna dikira wanita ternyata pria.
Medium karya (Rianto, 2019) juga menjadi cara Rianto mengenang bahwa istilah Lengger berasal dari frasa elinga ngger, yang berarti “nasihat untuk waspada, untuk mengingat.” Karya ini telah dipentaskan di berbagai kota dunia, antara lain di Paris pada April 2019, Praha dan Athena pada Juni 2019, Yunani pada Juli 2019, Italia pada Agustus 2019, serta Plovdiv dan KBRI Bulgaria pada September 2019. Selanjutnya, karya ini juga tampil di Barcelona pada Oktober 2019, Lyon pada Maret 2020, dan Swiss pada April hingga Mei 2020.
Pementasan karya Rianto yang telah menjangkau berbagai negara menunjukkan nilai artistik dan orisinalitas tinggi yang dimilikinya untuk mengenalkan Lengger Banyumas di kancah internasional. Karya tersebut penting untuk dilihat dari perspektif Hak Kekayaan Intelektual (HKI), khususnya terkait perlindungan hukum atas ekspresi budaya dan seni pertunjukan. Perlindungan HKI berperan penting dalam menjaga hak moral dan ekonomi pencipta, mencegah plagiarisme, serta memastikan pengakuan yang layak atas karya yang bersumber dari tradisi lokal namun diolah secara kreatif.
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta, karya tari seperti Lengger Banyumasan yang telah diolah dan dipentaskan oleh Rianto memiliki dimensi perlindungan hukum yang penting, baik sebagai ekspresi budaya tradisional maupun sebagai karya cipta individu. Tari Lengger yang berasal dari kebudayaan lokal Banyumas, merupakan bagian dari ekspresi budaya tradisional (folklore) yang menurut Pasal 38 UU Hak Cipta, hak ciptanya dipegang oleh negara. Negara memiliki kewajiban untuk menginventarisasi, menjaga, dan memelihara ekspresi budaya tersebut serta memastikan penggunaannya tetap menghormati nilai-nilai masyarakat pengembannya.
Namun demikian, apabila ekspresi budaya tradisional tersebut telah diolah dan diwujudkan dalam bentuk pertunjukan baru oleh seorang individu dengan sentuhan kreatif yang orisinal, seperti dalam karya Rianto yang telah ditampilkan di berbagai negara, maka menurut Pasal 40 ayat (1) huruf e UU Hak Cipta, karya tari dan koreografi yang dihasilkan oleh pencipta tetap dilindungi sebagai karya cipta. Dalam konteks ini, Rianto sebagai pencipta memiliki hak moral dan hak ekonomi atas karyanya (Pasal 5 dan Pasal 8 UU Hak Cipta), termasuk hak untuk mencantumkan nama, mencegah distorsi atas ciptaannya, serta mendapatkan manfaat ekonomi dari pementasan dan distribusinya.
Menurut (Ruhtiani, 2025) perlunya perlindungan hukum terhadap karya seni tradisional seperti tarian Lengger dilatarbelakangi oleh maraknya eksploitasi karya budaya oleh pihak luar tanpa izin, termasuk penggunaannya untuk kepentingan komersial. Tidak jarang, karya-karya ini bahkan diklaim sebagai bagian dari budaya negara lain, sehingga mengaburkan asal-usul dan identitas budayanya. Lebih dari itu, eksploitasi semacam ini sering kali tidak memberikan manfaat ekonomi yang adil bagi komunitas asal yang telah menjaga dan melestarikan tradisi tersebut selama bertahun-tahun.
Namun, upaya perlindungan hukum terhadap karya budaya tradisional menghadapi sejumlah tantangan yang tidak sederhana (Ruhtiani, 2025). Salah satu kendala utama adalah karena karya-karya ini umumnya diciptakan oleh komunitas, bukan oleh individu, sehingga menimbulkan kerumitan dalam menentukan siapa yang berhak menerima manfaat ekonomi. Selain itu, banyak karya tradisional tidak diketahui secara pasti siapa penciptanya, serta diwariskan secara turun-temurun lintas generasi tanpa batasan waktu yang jelas. Hal ini bertentangan dengan sistem HKI yang mensyaratkan adanya pencipta yang dapat diidentifikasi serta durasi perlindungan yang terbatas.
Didukung dalam penelitian (Pelupessy, 2023) jika ekspresi budaya tradisional (folklore) dipaksakan untuk didaftarkan menjadi hak cipta maka akan menjadi bersifat limitatif. Direktorat Jenderal HKI tidak bisa mengeluarkan surat pendaftaran atas folklore karena sifatnya berbeda dengan hak cipta yang diketahui penciptanya. Selama ini, perlindungan terhadap folklore dalam Undang-Undang Hak Cipta masih sangat terbatas. Berbeda dengan hak cipta yang melindungi karya individu atau badan hukum untuk kepentingan ekonomi dan berlaku otomatis tanpa pendaftaran, ekspresi budaya tradisional merupakan warisan budaya lintas generasi yang lebih berfokus pada nilai sosial dan budaya. Perlindungannya pun berbeda—folklore tidak memiliki batas waktu perlindungan, sementara hak cipta berlaku seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun setelah wafatnya.
Oleh karena itu saran yang diajukan dalam penelitian (Pelupessy, 2023) upaya perlindungan ekspresi budaya tradisional dapat dilakukan melalui pembentukan regulasi khusus (sui generis) yang terpisah dari Undang-Undang Hak Cipta, serta dengan melakukan inventarisasi dan pendokumentasian secara menyeluruh. Penting juga untuk menunjuk lembaga negara yang bertanggung jawab atas perlindungan folklore dan mendorong penggunaan kontrak yang mengatur pembagian manfaat (benefit sharing) bagi komunitas adat jika folklore dimanfaatkan secara komersial. Pemerintah juga perlu mengidentifikasi seluruh bentuk folklore dan pengetahuan tradisional di Indonesia, serta didukung oleh regulasi teknis, seperti Peraturan Pemerintah Daerah, untuk pelaksanaan perlindungan yang lebih efektif.