Mohon tunggu...
Halim Pratama
Halim Pratama Mohon Tunggu... Wiraswasta - manusia biasa yang saling mengingatkan

sebagai makhluk sosial, mari kita saling mengingatkan dan menjaga toleransi antar sesama

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Hari Toleransi Internasional, Menilik Kembali Keindonesiaan

20 November 2022   07:28 Diperbarui: 20 November 2022   07:31 197
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Toleransi, jalandamai.org

Pada perhelatan G20 di Bali kemarin, bertepatan pula dengan hari toleransi internasional pada 16 November. Dan para pemimpin negara G20 di Bali, juga terlihat menunjukan sikap toleran meraka. Terlihat dari batik yang dipakai, caranya berkomunikasi, hingga keputusan yang diambil. Pesan Hari Toleransi Internasional tercermin dalam Deklarasi Prinsip-Prinsip Toleransi UNESCO, diadopsi pada tahun 1995. "Pada Hari Toleransi Internasional, mari kita kenali ancaman yang meningkat yang ditimbulkan oleh mereka yang berusaha untuk memecah belah, dan mari kita berjanji untuk menempa jalan yang ditentukan oleh dialog, kohesi sosial, dan saling pengertian," tulis PBB.

Indonesia, negara yang terdiri dari ratusan suku dan ribuan bahasa etnis serta keberagaman agama dan budaya merupakan ladang pluralisme terbesar yang terbentang dari Sabang hingga Merauke. Peringatan Hari Toleransi Internasional ini dapat dijadikan sebagai momentum pengingat akan nilai-nilai keIndonesiaan yang dimiliki oleh bangsa Indonesia.

Perkembangan historis yang terkait dengan kolonialisme asing di bumi pertiwi  telah berlangsung lebih dari tiga setengah abad lamanya. Hal tersebut melahirkan dan menumbuhkan nilai-nilai keIndonesiaan yang merupakan jawaban dialektis-historis yang muncul dari sistem kolonial yang eksploitatif berhadapan dengan cita-cita kemerdekaan. Oleh karena itu keIndonesiaan merupakan manifestasi dari perasaan senasib dan sependeritaan manusia yang hidup di alam Nusantara.

Dengan kata lain keIndonesiaan lahir dari rasa solidaritas anak bangsa yang berada dalam tekanan eksploitasi para penjajah yang mengakibatkan penderitaan, kemiskinan dan keterbelakangan. Atas dasar itu, nilai keIndonesiaan dengan sendirinya terkandung semangat persatuan sebagai perekat yang dapat merajut kebhinekaan sosial-budaya masyarakat Indonesia. KeIndonesiaan mengakui dan menerima keberagaman dengan tulus sebagai kenyataan sosial, dimana ia menjadi bagian yang tak terpisahkan.

Oleh karena itu keIndonesiaan merupakan landasan utama bagi kehidupan berbangsa dan bernegara dan sebagai elemen dasar bagi tumbuhnya demokrasi dan keadilan sosial. Layaknya akar tanaman, keIndonesiaan harus kokoh terlebih dahulu maka kemudian demokrasi dan keadilan sosial dapat tumbuh dengan sehat.

Akhir-akhir ini kita menyaksikan keutuhan dan kelestarian bangsa dipertaruhkan, tantangan hebat melanda persatuan bangsa dan negara.  Semakin terbukanya ruang artikulasi publik di era reformasi termasuk ekspresi ke dalam bentuk politik identitas, tentu mengandung implikasi-implikasi negatif bagi rekonstruksi nilai keindonesiaan yang multikultural. Sejumlah peristiwa kekerasan sosial yang mengatasnamakan agama dan suku terjadi silih-berganti di tanah air sejak beberapa tahun belakangan ini baik di tingkat nasional maupun di tingkat lokal. Bahkan kekerasan komunal telah muncul dalam bentuk teror yang mengerikan.

Lemahnya toleransi sosial, saling tidak percaya dan prasangka antar elemen masyarakat merupakan hal yang berbeda jauh dari sifat-sifat dasar dan budaya masyarakat Indonesia yang lebih mengutamakan kerukunan, harmoni dan kegotongroyongan. Hal tersebut menandakan nilai-nilai keIndonesiaan menghadapi tantangan yang luar biasa berat sekalipun mayoritas masyarakat pada dasarnya masih setia pada nilai-nilai kebangsaan. Hal ini tidak boleh dibiarkan terus menerus karena keutuhan dan kelestarian bangsa terletak pada seberapa konsisten warga negara dan seluruh elemen bangsa dapat mempertahankan komitmen keIndonesiaannya.

Indonesia masih harus menempuh perjalanan panjang sebagai proses menjadi bangsa. Jalan dialog dalam ruang diskursif yang terbuka tanpa prasangka jauh lebih bermartabat. Tradisi hidup rukun, toleran dan bergotong-royong dapat dijadikan titik tolak untuk menemukan kembali keIndonesiaan, khasanah budaya tersebut diharapkan dapat menyertai proses perbincangan kreatif tentang keIndonesiaan ketimbang adu otot apalagi adu senjata. "Hanya bangsa yang berani mengambil nasib dalam tangan sendiri yang akan dapat berdiri dengan tegaknya". -Bung Karno-

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun