2019 baru saja berlalu. Di awal tahun 2020 datang dan langsung disambut dengan bencana banjir di Jakarta dan sebagian Jawa Barat dan Banten. Tantangan kedepan tidak hanya soal bencana, tapi juga ada tantangan ekonomi. Namun yang tak kalah seriusnya adala tantangan untuk tetap menjaga toleransi di tengah provokasi radikalisme yang begitu masif. Tahun-tahun sebelumnya harus jadi pembelajaran, agar tahun 2020 ini tidak lagi dikotori dengan provokasi kebencian. Karena kebencian justru akan semakin menyuburkan bibit radikalisme dan intoleransi. Ketika keduanya menguat, maka bibit terorisme akan bisa muncul sewaktu-waktu.
Indonesia memang tak bisa dilepaskan dari kemajemukan. Banyaknya suku, bahasa, budaya dan agama yang ada, telah membuat Indonesia tumbuh menjadi negara yang sangat penuh warna. Indonesia merupakan negara dengan tingkat keberagaman yang sangat tinggi. Karena itulah, untuk bisa merekatkan keberagaman itu diperlukan nilai-nilai kearifan lokal untuk bisa mengikatnya. Dan nilai-nilai itulah yang kemudian diadopsi dalam Pancasila, yang menjadi dasar negara.
Salah satu nilai kearifan lokal itu adalah toleransi. Dan untuk bisa menjadi toleran, semestinya bisa sangat mudah dilakukan. Kok bisa? Karena pada dasarnya kita sudah toleran sejak dari awal. Jauh sebelum terbentuknya negara Indonesia, ketika Islam masuk ke tanah Jawa, nilai toleransi itu sudah ada. Nilai toleransi tidak hanya ditunjukkan para Wali Songo, tapi juga masyarakat yang ketika itu sudah banyak memeluk agama Hindu dan Budha. Karena pikiran yang terbuka itulah, akulturasi budaya terjadi dan bisa kita rasakan hingga saat ini.
Sayangnya, nilai positif yang telah ada sejak dulu itu, beberapa tahun kebelakang ini mulai banyak digangu dengan merebaknya propaganda radikalisme di media sosial. Propaganda radikalisme terus berkembang menyesuaikan perkembangan zaman. Dampaknya, pihak terdampak pun sudah merambah ke berbagai level usia. Dari anak-anak, remaja hingga dewasa. Dari masyarakat yang tidak berpendidikan hingga yang berpendidikan. Dari pengangguran hingga yang punyai pekerjaan. Dari masyarakat biasa hingga masyarakat yang punya kuasa. Semuanya berpotensi terpapar radikalisme.
Untuk bisa meredam peredaran radikalisme, hanya bisa dilakukan dengan cara menjaga nilai-nilai kearifan lokal. Dan toleransi adalah salah satu cara untuk meredam radikalisme. JIka diantara kita bisa saling menghargai dan menghormati antar sesama, maka tidak ada persoalan dengan perbedaan. Juga tidak ada persoalan dengan keberagaman. Tidak ada perdebatan mayoritas harus mendominasi, minoritas harus mengikut atau sebagainya. Semuanya punya hak dan kewajiban yang sama. Semuanya harus saling merangkul, bukan saling memukul. Semuanyai harus saling menghargai bukan saling mencaci.