Pengalaman sehari-hari sering kali tampak sepele, tetapi jika diperhatikan lebih dalam, dapat menjadi pintu masuk untuk memahami persoalan sosial yang lebih luas.
Salah satunya yang saya alami ketika menggunakan transportasi daring (ojek online) dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisipol) UGM menuju Stasiun Lempuyangan.
Perjalanan singkat ini awalnya hanya bagian dari rutinitas pulang ke Solo setelah aktivitas seharian di kampus. Tapi pengalaman tersebut justru membuka ruang refleksi tentang bias gender dalam kehidupan sehari-hari.
Ceritanya saya memesan ojek online melalui aplikasi dengan logo hijau-putih. Tidak lama kemudian, pesanan saya diterima oleh seorang driver. Namun, alih-alih langsung menuju titik penjemputan, saya mendapat pesan teks yang berbunyi "Kalau sama perempuan gapapa mas?".
Pertanyaan ini terdengar tidak biasa bagi saya. Karena beberapa kali saya juga mendapati driver ojol perempuan dan tidak menerima pesan serupa. Saya sempat berpikir, "Mengapa harus dipersoalkan jika drivernya perempuan?".
Tanpa banyak pertimbangan, saya membalas singkat saja,"Ya gapapa". Saat itu saya tidak terlalu menaruh perhatian lebih, sampai akhirnya saya bertemu langsung dengan driver tersebut.
Setelah menyapa dengan ramah, ia mengantarkan saya menuju stasiun. Dalam perjalanan ini, saya menanyakan alasan di balik pertanyaan tadi. Hal ini dikarenakan rasa penasaran dari balik pertanyaan mbak driver tersebut.
Ia menjelaskan bahwa tidak jarang mbak driver mengalami pembatalan pesanan ketika calon penumpang mengetahui bahwa drivernya adalah perempuan. Ketika saya tanya mengapa hal itu bisa terjadi, ia menjawab "Alasannya macam-macam, mas. Ada yang bilang nggak nyaman dibonceng perempuan. Ada juga yang buru-buru dan merasa kalau perempuan bawa motornya pasti lebih pelan," jelasnya.
Pernyataan sederhana ini memberi gambaran nyata tentang bagaimana stereotip gender bekerja dalam praktik sehari-hari. Perempuan dianggap kurang mampu, bahkan dalam hal sesederhana mengendarai sepeda motor untuk mengantar penumpang.