Mohon tunggu...
Huda
Huda Mohon Tunggu... pekerja bebas

Pengamat fenomena sosial ekonomi masyarakat kelautan dan perikanan, menyenangi keberagaman dan keadilan dalam berbangsa bermasyarakat

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Merajut Asa Pengelolaan Rajungan Berkelanjutan di Tengah Masifnya Alat Penangkapan Ikan Tidak Ramah Lingkungan

17 Mei 2025   20:15 Diperbarui: 17 Mei 2025   20:15 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Kondisi perikanan rajungan di pesisir utara Jawa semakin memprihatinkan. Penurunan hasil tangkapan yang drastis dirasakan oleh nelayan, terutama pengguna alat tangkap ramah lingkungan seperti bubu. Hal ini tidak lepas dari maraknya penggunaan alat tangkap tidak ramah lingkungan seperti garuk dan cotok, yang tidak hanya merusak habitat dasar laut tetapi juga menangkap rajungan berukuran kecil yang seharusnya belum layak panen.

Para nelayan tradisional mengeluhkan hasil tangkapan yang semakin sedikit dan berukuran kecil. Ini menimbulkan keresahan karena hasil yang didapat tidak sebanding dengan biaya operasional. Konflik antar nelayan pun kerap terjadi, baik antar sesama nelayan lokal maupun dengan nelayan dari luar kabupaten yang menggunakan alat tangkap merusak. Dinas Kelautan dan Perikanan menyatakan bahwa mereka memiliki tekad untuk menegakkan aturan, namun tekanan politis kerap kali menjadi batu sandungan.

Dalam situasi ini, upaya pemberdayaan nelayan dan pendampingan teknis menjadi sangat penting. Di beberapa daerah, pemberdayaan telah berjalan dan menunjukkan potensi peningkatan hasil tangkap. Di sisi lain, aplikasi digital untuk pencatatan hasil tangkapan dan pelacakan daerah penangkapan dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan keterlacakan dan tata kelola rajungan. Namun, keterbatasan perangkat, jaringan, serta kemampuan nelayan dalam menggunakan teknologi menjadi tantangan tersendiri. Pelatihan (bimtek) dan penyederhanaan sistem aplikasi mutlak diperlukan.

Masalah lainnya adalah fluktuasi harga rajungan. Rendahnya harga sering kali disebabkan oleh ukuran rajungan yang kecil, kualitas daging yang menurun akibat penanganan yang tidak baik, hingga manipulasi berat melalui perendaman air. Miniplan dan perusahaan pengolah pun mengalami kesulitan karena kualitas bahan baku yang tidak sesuai standar ekspor, yang berdampak pada penurunan daya simpan dan turunnya harga jual.

Kondisi ini diperburuk dengan tidak adanya pencatatan hasil tangkapan yang rapi, padahal data sangat diperlukan untuk pengelolaan sumber daya yang berkelanjutan. Harapan muncul dari rencana pengembangan aplikasi yang dilengkapi kecerdasan buatan (AI) untuk mengidentifikasi ukuran dan volume rajungan secara otomatis. Selain itu, integrasi aplikasi dengan stakeholder seperti APRI, dinas, dan perusahaan menjadi kunci agar sistem pengelolaan tidak berjalan terpisah-pisah.

Salah satu cerita nelayan yang masih setia menggunakan bubu menunjukkan bahwa praktik penangkapan berkelanjutan masih mungkin dijalankan. Namun, mereka membutuhkan dukungan nyata: dari pengawasan terhadap alat tangkap destruktif, penyediaan umpan yang layak, hingga jaminan harga dan akses pasar yang adil.

Jika situasi ini terus dibiarkan, bukan tidak mungkin perlu dilakukan moratorium penangkapan rajungan untuk memulihkan stok. Namun sebelum sampai ke titik tersebut, semua pihak harus berbenah. Rantai dingin, sistem pencatatan, hingga edukasi dan pemberdayaan perlu diperkuat. Permintaan pasar juga dapat diarahkan untuk hanya menerima produk dari alat tangkap ramah lingkungan sebagai insentif konservasi.

Merajut asa pengelolaan rajungan berkelanjutan bukan sekadar mimpi. Ia adalah kebutuhan mendesak agar rajungan tetap lestari, nelayan sejahtera, dan ekosistem laut tetap terjaga. Saatnya semua pihak duduk bersama, bertindak nyata, dan berpihak pada masa depan perikanan yang berkelanjutan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun