Indonesia sebagai negara kepulauan terbesar di dunia menyimpan potensi pesisir dan laut yang sangat besar. Namun, di balik kekayaan itu, tata kelola wilayah pesisir dan laut Indonesia menghadapi permasalahan struktural yang serius. Permasalahan ini mencakup maraknya praktik 'coastal and marine grabbing', yaitu bentuk perampasan ruang dan sumber daya laut oleh aktor negara maupun swasta yang kerap mengabaikan hak-hak komunitas lokal dan menimbulkan dampak sosial-ekologis yang signifikan.
Bennett et al. (2015) mendefinisikan ocean grabbing sebagai bentuk pengambilalihan akses, kontrol, dan penggunaan sumber daya laut dari pengguna sebelumnya secara tidak adil, yang sering kali terjadi melalui mekanisme tata kelola yang lemah, manipulatif, dan tidak transparan. Hal ini sejalan dengan temuan dalam buku 'Merampas Laut Merampas Hidup Nelayan' (Adhuri et al., 2025) yang memperlihatkan bagaimana proyek reklamasi, tambang pasir laut, dan konservasi eksklusif menjadi bentuk nyata perampasan laut yang sebelumnya dilegalkan melalui kebijakan zonasi laut provinsi.
Perlu dicatat bahwa kebijakan Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) yang sebelumnya menjadi dasar alokasi ruang laut di tingkat provinsi kini telah terintegrasi ke dalam dokumen Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik pada level provinsi maupun nasional, seiring dengan diberlakukannya UU Cipta Kerja dan turunannya. Meskipun begitu, permasalahan struktural dalam perencanaan ruang tetap berlanjut, di mana proyek-proyek besar seperti reklamasi dan tambang pasir masih mendominasi arah pemanfaatan ruang laut, sering kali tanpa mempertimbangkan aspirasi dan keberlanjutan penghidupan komunitas pesisir.
Contoh paling gamblang adalah proyek reklamasi Teluk Jakarta, Teluk Benoa di Bali, dan pemagaran laut di Tangerang. Kasus-kasus ini menunjukkan bagaimana komunitas nelayan tradisional, masyarakat adat, dan kelompok nomaden laut terpinggirkan secara sistematis dari ruang hidup mereka. Dampaknya mencakup hilangnya mata pencaharian, pencemaran air, abrasi, rusaknya terumbu karang, hingga konflik sosial. Studi oleh Bavinck et al. (2017) juga menyoroti bahwa coastal grabbing telah menjadi fenomena global yang menimbulkan ancaman serius terhadap konservasi berbasis masyarakat dan keberlanjutan ekologi laut.
Permasalahan utama dalam tata kelola pesisir di Indonesia adalah lemahnya dimensi partisipasi, transparansi, dan akuntabilitas dalam proses perumusan kebijakan ruang, baik ketika RZWP3K masih digunakan maupun kini setelah integrasi ke RTRW. Skema-skema yang mendorong privatisasi ruang laut masih berlangsung melalui proses perizinan yang kerap minim konsultasi publik. Bennet et al. (2015) menekankan bahwa kebijakan tata kelola laut yang adil harus menjamin prinsip keadilan sosial-ekologis, keamanan penghidupan, dan pengakuan hak-hak lokal sebagai prasyarat legitimasi.
Untuk menjawab tantangan ini, beberapa langkah perlu segera diambil: pertama, mendorong reformulasi RTRW yang inklusif dengan menjadikan masyarakat pesisir sebagai aktor utama dalam proses perencanaan. Kedua, memperkuat kerangka hukum yang mendukung pengelolaan berbasis masyarakat melalui pendekatan rekognisi dan asas subsidiaritas. Ketiga, membangun mekanisme pengawasan independen yang melibatkan unsur masyarakat sipil dan akademisi untuk mengontrol proyek-proyek pembangunan di kawasan pesisir. Keempat, mendukung inisiatif lokal seperti di Wakatobi dan Mentawai yang telah berhasil mengembangkan model pengelolaan sumber daya yang adil, lestari, dan berbasis kearifan lokal.
Jika tidak segera dikoreksi, tata kelola pesisir yang eksploitatif dan elitis akan memperdalam ketimpangan sosial, mempercepat degradasi ekosistem, dan memperlemah kedaulatan maritim bangsa. Sebaliknya, dengan menempatkan masyarakat lokal sebagai aktor utama dan memperkuat tata kelola yang adil, Indonesia dapat membangun fondasi kuat menuju poros maritim dunia yang sejati, bukan hanya sebagai jargon politik, melainkan sebagai kenyataan sosial-ekologis yang hidup.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI