Mohon tunggu...
M.A.H.
M.A.H. Mohon Tunggu... Novelis - Hidupkan Hidup

Manusia biasa

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Mendefinisikan Terorisme dalam Aksi Perencanaan Bom Sinagog Colorado 2019

30 Desember 2020   17:55 Diperbarui: 30 Desember 2020   18:24 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Terorisme adalah suatu isu yang menjadi perbincangan secara berkala dan menjadi salah satu fokus utama dalam isu keamanan. Istilah terorisme sendiri menjadi kata yang sering diucapkan terhadap berbagai macam aksi dan subjek perseorangan atau kelompok.

Menurut anggota DPR (Dewan Republik Indonesia), Paskalis Kossay, pada masa jabatannya mengatakan bahwa terorisme adalah sama dengan separatisme (Antara News, 2010). Hal tersebut merujuk kepada penangkapan beberapa orang yang keluar dari kamp pelatihan di Aceh oleh Polri (Polisi Republik Indonesia).

Menurut Mantan Kepala BIN (Badan Intelijen Negara), Jenderal TNI (Tentara Nasional Indonesia) (purn) A.M. Hendropiyono, OPM (Organisasi Papua Merdeka) bukanlah KKB (Kelompok Kriminal Bersenjata) (CNN Indonesia, 2019).

Lanjutnya, seharusnya OPM merupakan pemberontak yang harus masuk ke dalam daftar teroris internasional. Selain itu, istilah terorisme sering dipakai untuk melabeli suatu agama tertentu.

Menurut CfMM (Centre for Media Monitoring) dalam suatu risetnya, terjadi ketimpangan penggunaan label pelaku terorisme antara Islam dan kelompok supremasi kulit putih oleh media di Inggris (Hanif, 2020). Bahkan, ketimpangan pelabelan istilah terorisme antara Islam dengan neo-Nazi, supremasi kulit putih, dan kanan-jauh tersebut terdeteksi hampir sembilan kali lebih banyak.

Akibatnya, pelabelan tersebut terkesan melebar dan menjadi buram sehingga hal-hal yang identik dengan Islam seperti ras arab dan pakaian syar’I dipandang sebagai simbol-simbol terorisme. Namun, ternyata pelabelan istilah terorisme berbeda-beda tergantung masanya dan tergantung tempatnya.

Pada tahun 1790-an, istilah terorisme dilabelkan kepada revolusioner di Prancis (Jenkins, 2020). Lantas, sudah benarkah penggunaan istilah tersebut dalam perbincangan yang beredar? Apakah sejatinya terorisme itu?

Tidak ada kesatuan definisi dari terorisme di seluruh dunia. Bahkan, PBB (Persatuan Bangsa-Bangsa) sebagai organisasi global terbesar tidak memiliki definisi tunggal yang disepakati secara universal mengenai terorisme (UNODC, 2018).

Menurut Resolusi Sidang Umum PBB 49/60 (9 Desember, 1994), terorisme dapat dimaknai sebagai tindakan kriminal yang bermaksud atau direncanakan untuk memprovokasi suasana teror terhadap khalayak umum, kelompok, atau sebagian orang dengan tujuan politik dalam keadaan apapun yang tidak dibenarkan seperti politik, filosofi, ideologi, ras, etnis, agama, atau dalam keadaan lain yang digunakan sebgai pembenaran mereka (Department of Emergency and Military Affairs, n,d.).

Sedangkan di dalam Dewan Keamanan PBB, ada penambahan tujuan yaitu dengan maksud menyebabkan kematian, luka tubuh serius, dan penyanderaan serta adanya intimidasi dan pemaksaan terhadap penduduk, pemerintah, atau organisasi internasional untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (Department of Emergency and Military Affairs, n,d.).

Kedua perbedaan tersebut adalah contoh dari sekian banyak perbedaan yang ada di tubuh PBB. Selain itu, masing-masing anggota juga memiliki perbedaan definisi. Di dalam suatu negara pun juga terdapat beragam perbedaan definisi mengenai terorisme. Keadaan tersebut membuat pelabelan terorisme menjadi kabur dan samar sehingga menimbulkan reaksi dan sikap yang berbeda pula.

Namun, meskipun tidak ada kesatuan definisi yang jelas yang disepakati secara universal, beberapa peneliti berusaha untuk memberi ciri dan memberi batasan mengenai definisi terorisme. Salah satunya adalah James Lutz dan Brenda Lutz. James Lutz dan Brenda Lutz telah menuangkan dalam bukunya yang berjudul Terrorism: The Basics (2011) tentang memberi batasan-batasan tentang apa saja yang bisa disebut sebagai tindak terorisme.

Seringnya, pelabelan term terorisme digunakan terhadap suatu golongan tertentu. Hal tersebut akan sangat berisiko kepada penggiringan opini terhadapnya. Sehingga, pelabelan tersebut tidak jarang menjelma sebagai alat politik untuk mempermudah dan melancarkan agenda politiknya. 

Karena pelabelan terorisme adalah sebagai term yang memiliki konotasi negatif, maka pelabelan yang sembrono akan sangat mudah menggiring opini masyarakat untuk mengacuhkan, memandang sebelah mata, menghalangi, hingga mendorong untuk berbuat kekerasan terhadapnya secara dipukul rata.

Dengan kata lain, penggiringan opini tersebut akan menciptakan sebuah tendensi khusus. Hal tersebut sejalan dengan bagaimana James Lutz dan Brenda Lutz tulis dalam karyanya tersebut bahwa terorisme dapat dilakukan dan terjadi dalam berbagai kelompok dan kriteria-kriteria terorisme yang dibuat akan menggapai semua kelompok (Lutz & Lutz, 2011).

Ada enam kriteria yang disebutkan oleh James Lutz dan Brenda Lutz terkait karakteristik terorisme (Lutz & Lutz, 2011). Pertama adalah memiliki tujuan dan motif politik. Kedua adalah menggunakan kekerasan atau mengancam dengan kekerasan. Ketiga adalah meciptakan rasa takut kepada masyarakat.

Keempat adalah kekerasan tersebut dilakukan atau terinspirasi oleh organisasi yang teridentifikasi (diketahui/diketahui). Kelima adalah kekerasan tersebut dilakukan dan ditargetkan kepada aktor bukan negara. Keenam adalah kekerasan tersebut dilakukan untuk meningkatkan kekuatan dari keadaan kelompoknya yang kekuatannya dinilai menurun sebelumnya.

Untuk lebih memudahkan dalam menjabarkan setiap kriteria dan menggolongkannya, diperlukan suatu contoh kejadian demi membantu menggambarkannya.

Pada tahun 2019, terdapat aksi bom yang akan dilangsungkan oleh seseorang yang bernama Richard Holzer terhadap sinagog di Colorado, Amerika Serikat (BBC, 2019). Meskipun aksi tersebut belum terjadi dalam makna berhasil digagalkan, namun ada kriteria-kriteria yang cocok untuk mengkategorikan aksi tersebut sebagai aksi terorisme.

Pertama adalah tujuan dan motif yang bernuansa politik. Kriteria tersebut membuat aksi terorisme berbeda dengan aksi-aksi yang semisal perampokan yang bernuansa ekonomi. Dalam hal ini, aksi tersebut membawa pesan yang jelas. Pesan-pesan tersebut dapat berupa pro atau kontra terhadap sesuatu.

Dalam kasus perencanaan bom sinagog oleh Richard Holzer, aksi tersebut memiliki pesan politik yang jelas. Menurut salah satu agen dari FBI, John Smith, Richard Holzer berusaha menyebarkan paham supremasi kulit putih dengan menyerang Kaum Yahudi dan Hispanic (BBC, 2019). Maka, penyerangan terhadap sinagog tersebut memiliki pesan politik bahwa Richard Holzer mendukung gerakan supremasi kulit putih dengan penyerangan terhadap Kaum Yahudi.

Kedua adalah penggunaan kekerasan atau mengancam dengan kekerasan. Meskipun aksi konkret dari Richard Holzer belum dilakukan, tetapi perencanaan Richard Holzer dalam melancarkan aksinya adalah menggunakan bom (BBC, 2019). Bom tersebut tentu menjadi alat untuk melakukan kekerasan dengan tujuan memberi luka ringan, luka serius, atau bahkan kematian.

Ketiga adalah bertujuan menciptakan dan menyebarkan rasa takut. Memang dalam kasus Richard Holzer tidak ditemukan adanya bukti konkret tentang eskalasi rasa takut terhadap aksi yang digagalkan tersebut. Namun, kasus tersebut tidak lepas dari analogi dari kasus lain yang serupa. 

Contoh pada kasus penembakan terhadap sinagog di Pittsburgh yang menewaskan 11 orang Yahudi pada tahun 2018 yang kemudian menyebabkan ketakutan di antara Kaum Yahudi (Heim & Schmidt, 2018). Dalam analogi tersebut, setidaknya ada dua yang terdampak mengalami rasa takut.

Yang pertama adalah sinagog sekaligus orang-orang yang beribadah di dalamnya. Yang kedua adalah Kaum Yahudi secara umum dengan membawa pesan bahwa ‘jika sinagog tersebut dapat terdampak, maka bukan tidak mungkin sinagog lain akan terdampak. Begitu pula dengan Kaum Yahudi’.

Keempat dilakukan atau terinspirasi oleh krlompok yang diketahu atau dikenal. Menurut James Lutz dan Brenda Lutz, hal tersebut karena aksi lone wolf dianggap tidak cukup mampu untuk membawa pesan-pesan dan tujuan-tujuan tersebut (Lutz & Lutz, 2011).

Selain itu, hal tersebut menjadi pembeda dari aksi-aksi lain seperti pencurian, pencopetan, atau penyanderaan. Dalam kasus Richard Holzer, kepada otoritas terkait Richard Holzer mengaku terafiliasi dengan KKK (Ku Klux Klan) dan Skinhead.

KKK adalah organisasi yang mempromosikan supremasi kulit putih (History.com Editors, 2020). Sedangkan Skinhead adalah kelompok yang cenderung mempromosikan rasisme dan anti-semitik (Jenkins, Skinhead: Youth Subculture, 2017).

Kelima adalah pelaku dan target adalah bukan negara. Dalam kasus Richard Holzer jelas bahwa Richard Holzer sendiri sebagai pelaku adalah bukan aktor dari negara atau merepresentasikan suatu negara. Sedangkan target aksi terseut, dalam hal ini sinagog dan Kaum Yahudi, juga bukanlah aktor negara melainkan masyarakat sipil.

Keenam adalah adanya upaya untuk meningkatkan kekuatan kelompok yang terafiliasi atau terinspirasi seblumnya. Dalam kasus Richard Holzer, kelompok yang dimaksud bisa jadi di antara dua yaitu KKK dan Skinhead. Karena dalam pengakuannya Richard Holzer adalah mantan anggota KKK, maka yang lebih pantas dirujuk adalah Skinhead (BBC, 2019).

Dalam kriteria ini, ada kemungkinan untuk tidak berupaya secara sengaja atau langsung. Namun, secara tidak langsung, pesan-pesan yang dibawa oleh kedua atau salah satu dari kelompok tersebut akan membesar dan menyebar sehingga membuat posisi kelompok tersebut menjadi kuat, minimal diketahui.

Dari pemaparan tersebut diketahui bahwa definisi dari terorisme sangat beragam tergantung dari negara, organisasi, atau persepsi individu. Namun, para peneliti berusaha untuk menetapkan batasan-batasan mengenai kriteria aksi yang disebut terorisme.

Dalam kasus bom terhadap sinagog di Colorado yang gagal dilakukan oleh Richard Holzer, aksi tersebut dapat dikategorikan sebagai salah satu contoh dari aksi terorisme karena memenuhi keenam kriteria yang diusung oleh James Lutz dan Brenda Lutz. 

References:

Antara News. (2010, Mei 9). Aksi Terorisme Sama Dengan Gerakan Separatisme. Diambil kembali dari Antara News.

BBC. (2019, November 4). Man Accused of Plotting to Bomb Colorado Synagogue. Retrieved from BBC News.

CNN Indonesia. (2019, 12 23). Hendropriyono: OPM Pemberontak, Harusnya Masuk Daftar Teroris. Retrieved from CNN Indonesia.

Department of Emergency and Military Affairs. (n,d.). Various Definitions of Terrorism. Retrieved from DEMA Arizona.

Hanif, F. (2020). How British Media. CfMM.

Heim, J., & Schmidt, S. (2018, october 27). For American Jews, Pittsburgh Synagogue Massacre is Culmination of Worst Fears. Retrieved from The Washington Post.

History.com Editors. (2020, November 2). Ku Klux Klan. Retrieved from History.

Jenkins, J. P. (2017, August 24). Skinhead: Youth Subculture. Retrieved from Britannica.

Jenkins, J. P. (2020, July 27). Terrorism. Retrieved from Britannica.

Lutz, J., & Lutz, B. (2011). Terrorism: The Basics. London: Routledge.

UNODC. (2018, july). Module 4: Criminal Justice Responses to Terrorism. Retrieved from UNODC.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun