Dalam kehidupan sosial, keluarga adalah agen sosialisasi pertama yang membentuk kepribadian dan cara pandang individu terhadap dunia. Idealnya, rumah menjadi ruang aman bagi anak untuk berbagi cerita, keluh kesah, maupun pencapaian yang mereka alami. Namun, dalam realitas masyarakat modern, peran orang tua sebagai tempat bercerita perlahan memudar. Anak-anak kini lebih sering mencurahkan isi hati mereka kepada media sosial. Mengapa fenomena ini bisa terjadi?
Perubahan Pola Interaksi dalam Keluarga
Salah satu faktor utama dari berubahnya pola interaksi antara anak dan orang tua adalah perubahan gaya hidup yang serba cepat dan sibuk. Banyak orang tua, terutama di wilayah urban, disibukkan dengan pekerjaan dari pagi hingga malam. Meski secara fisik tinggal serumah, kualitas interaksi yang terbangun menjadi sangat minim. Komunikasi yang terjadi pun lebih banyak bersifat fungsional---sekadar menanyakan apakah anak sudah makan atau mengerjakan PR---tanpa ruang untuk eksplorasi emosional yang lebih dalam.
Dominasi Teknologi dan Media Sosial
Tidak bisa dipungkiri, teknologi membawa perubahan besar dalam cara manusia berinteraksi. Bagi generasi muda, media sosial bukan sekadar hiburan, tetapi juga ruang berekspresi dan mencari validasi. Mereka merasa lebih mudah dan cepat dipahami oleh teman-temannya secara daring dibanding harus menjelaskan perasaannya kepada orang tua yang mungkin tidak terlalu paham dengan konteks emosi atau istilah yang digunakan anak zaman sekarang.
Perbedaan Pola Komunikasi Antar Generasi
Selain faktor waktu dan teknologi, perbedaan cara pandang antara generasi orang tua dan anak juga memengaruhi kualitas komunikasi. Banyak anak merasa orang tua mereka terlalu menghakimi atau kurang mendengarkan tanpa prasangka. Ketika anak mencoba mengungkapkan perasaan, seringkali respon yang diterima justru berupa nasihat, larangan, atau pengalihan, bukan pemahaman. Hal ini membuat anak enggan untuk bercerita lagi, karena merasa tidak divalidasi secara emosional
Kita bisa melihat kasus ini melalui teori fungsionalisme struktural yang dikembangkan oleh Talcott Parsons yang menyatakan bahwa keluarga memiliki fungsi vital dalam menjaga stabilitas sosial, termasuk fungsi sosialisasi dan stabilisasi emosional. Jika fungsi ini terganggu---misalnya karena orang tua terlalu sibuk bekerja atau tidak hadir secara emosional---maka akan muncul disfungsi, di mana anak merasa tidak memiliki tempat aman untuk mengekspresikan diri.
Jika dilihat dari sudut pandang interaksionisme simbolik yang diperkenalkan oleh George Herbert Mead dan Herbert Blumer, kita memahami bahwa makna dari suatu hubungan terbentuk melalui interaksi sehari-hari. Anak-anak membentuk persepsi apakah orang tua mereka adalah "tempat yang aman" berdasarkan pengalaman-pengalaman kecil sehari-hari. Jika respon orang tua dianggap mengabaikan, terlalu menghakimi, atau minim empati, maka anak akan menarik diri dan mencari media lain yang dianggap lebih menerima.
Kultur Individualisme dan Privatisasi Emosi
Masyarakat modern cenderung mengedepankan nilai-nilai individualisme, di mana otonomi pribadi lebih diutamakan daripada keterikatan komunal. Hal ini berpengaruh juga pada relasi keluarga. Anak-anak didorong untuk "mandiri" secara emosional sejak dini, yang kadang diartikan sebagai tidak bergantung pada orang tua dalam menyelesaikan masalah pribadi. Akibatnya, mereka lebih memilih untuk memproses emosi secara privat, atau lewat jaringan sosial di luar keluarga.