Apa saja perbedaan Indonesia dan Jepang dalam menghadapi krisis beras nasional di dalam negerinya masing-masing ?
Perbedaan antara Indonesia dan Jepang dalam menghadapi krisis beras nasional cukup mencolok, karena keduanya memiliki kondisi geografis, sosial, ekonomi, dan kebijakan pangan yang berbeda. Berikut beberapa perbedaan utama:
1. Kebijakan Ketahanan Pangan
Indonesia:
- Mengandalkan produksi dalam negeri dari petani lokal, tapi kerap mengimpor beras saat produksi menurun.
- Ada Bulog (Badan Urusan Logistik) yang bertugas menjaga stok dan harga beras.
- Pemerintah menerapkan subsidi pupuk dan program bantuan langsung berupa beras (Rastra/BPNT).
- Cenderung reaktif, bukan preventif, dalam merespons krisis (misal: impor baru dilakukan setelah harga naik tinggi).
Jepang:
- Sangat proteksionis, menjaga produksi beras domestik dengan subsidi besar dan tarif impor tinggi.
- Pemerintah menjaga harga beras tetap tinggi untuk melindungi petani.
- Menerapkan sistem stok nasional (rice reserve) untuk mengantisipasi krisis.
- Jepang juga memiliki kebijakan pengurangan lahan tanam (set-aside policy) saat produksi melimpah, untuk menghindari oversupply.
2. Ketergantungan pada Impor
Indonesia:
- Sering bergantung pada impor, terutama dari Thailand, Vietnam, Pakistan, dan India saat panen gagal atau stok nasional menipis.
Jepang:
- Hampir tidak bergantung pada impor untuk konsumsi harian. Impor lebih banyak untuk kebutuhan industri atau sebagai cadangan darurat.
- Jepang hanya mengimpor sesuai dengan komitmen WTO (sekitar 770.000 ton/tahun), tetapi tidak digunakan untuk konsumsi luas.
3. Budaya Konsumsi
Indonesia:
- Beras adalah makanan pokok utama, dikonsumsi oleh hampir semua masyarakat dari semua kalangan.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!