Seorang guru senior pernah berkata,
"Dulu, murid takut salah karena hormat pada guru. Sekarang, guru takut salah karena takut diviralkan."
Kalimat itu sederhana tapi menggigit. Beban moral guru saat ini bukan hanya di ruang kelas, tapi juga di ruang publik.
Setiap tindakan bisa direkam, disebar, ditafsirkan tanpa konteks. Apalagi di tengah masyarakat yang semakin sensitif terhadap isu kekerasan dan pelanggaran hak anak.
Guru seolah berdiri di dua dunia: Satu kaki di dunia ideal pendidikan - penuh nilai, keteladanan, dan kasih sayang;
dan kaki lainnya di dunia nyata - penuh tekanan, aturan, dan ancaman sosial.
Di sinilah pentingnya keseimbangan. Guru tetap harus menjadi sosok tegas, tapi tidak kasar.
Menjadi teladan, bukan penghukum. Dan murid pun harus memahami bahwa kebebasan tidak berarti bisa berbuat seenaknya.
Murid Juga Harus Belajar Tanggung Jawab
Sering kali kita terlalu cepat menilai guru tanpa melihat akar masalahnya. Padahal, dalam kasus di Banten ini, persoalan utamanya bukan sekadar tamparan - tapi perilaku siswa yang merokok di lingkungan sekolah.
Merokok bukan hanya soal melanggar aturan, tapi juga soal tanggung jawab diri. Di usia sekolah, ketika seseorang memilih untuk melanggar larangan, itu artinya ia sadar akan risikonya. Dan tanggung jawab tidak bisa sepenuhnya dipindahkan ke guru.
Pendidikan karakter tidak akan pernah berhasil jika murid tidak belajar menanggung akibat dari pilihannya. Guru bisa mengingatkan, menasihati, bahkan menegur dengan keras - tapi kesadaran untuk berubah hanya bisa lahir dari dalam diri murid sendiri.
Kuncinya: Pendidikan dengan Hati
Apa pelajaran terbesar dari kasus ini?