Dalam waktu singkat, kisah yang bermula dari rokok di halaman sekolah berubah menjadi perbincangan nasional tentang batas-batas kewenangan seorang guru.
Mediasi dan Keputusan Akhir
Beberapa hari kemudian, Gubernur Banten, Andra Soni, memanggil semua pihak ke kantornya. Sang kepala sekolah hadir, begitu juga siswa yang bersangkutan bersama orang tuanya. Di ruang pertemuan yang sederhana, suasana perlahan mencair. Guru meminta maaf karena terlalu keras, siswa pun mengaku bersalah karena melanggar aturan sekolah. Keduanya berpelukan, menandai berakhirnya kisruh yang sempat mengguncang sekolah itu.
Gubernur kemudian mengumumkan bahwa kepala sekolah tidak jadi dinonaktifkan secara permanen. Ia diperbolehkan kembali mengajar, dengan catatan agar kejadian serupa tidak terulang. Kasus ditutup dengan damai, tapi meninggalkan banyak pertanyaan besar di benak masyarakat.
Disiplin atau Kekerasan?
Di sinilah perdebatan abadi dunia pendidikan muncul. Apakah tindakan fisik seorang guru, meski dalam konteks mendisiplinkan, bisa dibenarkan?
Generasi dulu mungkin akan menjawab "bisa." Banyak dari kita yang tumbuh dengan cerita tentang guru yang mencubit, menepuk, atau memukul penggaris di tangan. Tindakan itu dianggap bagian dari disiplin - bukan kekerasan.
Tapi zaman telah berubah. Hari ini, dunia pendidikan menempatkan hak anak di posisi yang lebih tinggi.
Permendikbud Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Kekerasan di Satuan Pendidikan menegaskan bahwa setiap tindakan fisik yang menyakiti atau berpotensi menyakiti peserta didik termasuk dalam kategori kekerasan.
Tidak ada alasan pembenaran, bahkan jika maksudnya "untuk mendidik."
Namun, di sisi lain, banyak guru merasa terjebak dalam dilema. Mereka diharapkan menanamkan disiplin, tapi ruang geraknya makin sempit. Satu kata keras bisa dianggap kasar, satu sentuhan bisa dipersoalkan, satu hukuman bisa berubah jadi laporan hukum.
Padahal, mendidik bukan hanya soal mengajar - tapi membentuk karakter.
Guru di Tengah Tekanan Zaman