Beberapa hari terakhir, jagat media sosial dan pemberitaan nasional dihebohkan oleh kisah seorang guru di Banten yang menampar siswanya karena ketahuan merokok di sekolah. Tindakan yang mungkin bagi sebagian orang terlihat "sepele", tapi ternyata membawa dampak besar: guru didemo, dinonaktifkan dari jabatannya, lalu akhirnya - setelah mediasi dan klarifikasi - diperbolehkan kembali mengajar.
Kisah ini bukan sekadar tentang satu guru dan satu siswa. Ia adalah potret kecil dari persoalan besar dalam dunia pendidikan kita hari ini: di mana batas antara mendidik dan melanggar, antara disiplin dan kekerasan, antara teguran dan penghinaan.
Awal Kisah: Saat Teguran Menjadi Tamparan
Hari itu sebenarnya biasa saja di SMAN 1 Cimarga, Lebak, Banten. Para siswa sedang menjalankan kegiatan rutin. Namun di salah satu sudut sekolah, seorang siswa diketahui sedang merokok. Sebuah pelanggaran yang jelas tertulis dalam tata tertib sekolah - bahkan diatur pula dalam peraturan pemerintah tentang kawasan tanpa rokok.
Sang kepala sekolah, Ibu Dini Fitri, mendatangi siswa itu. Awalnya, ia menegur dengan keras, menasihati agar berhenti dan tidak mengulangi perbuatan itu. Namun, menurut kesaksian beberapa pihak, suasana tegang dan emosi muncul. Dalam hitungan detik, teguran berubah menjadi tindakan fisik - sebuah tamparan, atau tepukan keras di kepala.
Sebagian guru menyebutnya spontanitas karena emosi. Sebagian siswa menilai itu tindakan yang keterlaluan. Dan sebagian orang tua melihatnya sebagai pelajaran yang keras tapi wajar.
Namun, di era di mana kamera ponsel selalu siap merekam dan media sosial jadi ruang pengadilan publik, peristiwa itu cepat sekali membesar. Video tersebar, berita bergulir, opini publik terbelah.
Reaksi dan Gelombang Emosi
Keesokan harinya, suasana sekolah memanas. Puluhan hingga ratusan siswa melakukan aksi protes. Mereka menuntut agar kepala sekolah meminta maaf kepada siswa yang ditampar. Sebagian lagi justru membela kepala sekolah, menyebut bahwa tindakan itu adalah bentuk disiplin yang sudah jarang ditemui.
Orang tua siswa yang bersangkutan kemudian melapor ke polisi. Media nasional menyorot kasus ini dari berbagai sisi: dari pelanggaran etika profesi guru, dari sisi hukum, dan dari sudut pandang psikologi pendidikan. Dinas Pendidikan Provinsi Banten pun turun tangan, dan kepala sekolah untuk sementara dinonaktifkan sambil menunggu proses pemeriksaan.