Mohon tunggu...
Hajad Priyadi
Hajad Priyadi Mohon Tunggu... Guru SMK HangTuah 2 Jakarta

Saya Hajad Priyadi, seorang pendidik yang suka baca dan nulis apa saja

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Puing Harapan di Sore yang Sunyi: Refleksi dari Tragedi Al Khoziny

10 Oktober 2025   19:10 Diperbarui: 10 Oktober 2025   22:10 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari terakhir, linimasa media sosial dan portal berita kita penuh dengan kabar duka: bangunan Pondok Pesantren Al-Khoziny di Sidoarjo roboh. Puluhan santri meninggal dunia, banyak lainnya luka-luka, dan seluruh masyarakat terkejut — tak menyangka tempat yang seharusnya menjadi sumber ilmu dan doa justru berubah menjadi lokasi bencana.

Musibah ini bukan sekadar berita. Ia adalah kisah nyata tentang rapuhnya sebuah struktur -  bukan hanya dinding dan beton, tapi juga sistem pengawasan dan kepedulian terhadap keselamatan di lingkungan pendidikan.

Sore Itu yang Tak Terlupakan

Bayangkan suasana sore itu. Cahaya matahari condong ke barat, suara adzan Ashar menggema lembut dari musholla. Para santri bergegas mengambil wudhu, menata shaf sholat, dan bersiap menjalankan ibadah. Di lantai atas, beberapa pekerja masih menyelesaikan pengecoran bangunan baru. Semua terlihat biasa saja -  hingga detik berikutnya, bumi seolah bergetar.

Suara keras menggema, debu tebal memenuhi udara, dan dalam hitungan detik bangunan itu ambruk. Jeritan meminta tolong terdengar dari balik reruntuhan. Para santri dan warga sekitar berlari, berusaha menolong dengan tangan kosong. Di tengah kepanikan, waktu terasa beku. Hari itu, Al-Khoziny kehilangan bukan hanya bangunannya, tapi juga sebagian dari harapan.

Ketika Semangat Membangun Mengalahkan Keselamatan

Dari berbagai laporan, diketahui bahwa bangunan tersebut masih dalam tahap pengerjaan. Ada dugaan bahwa pengecoran dilakukan tanpa pengawasan teknis yang cukup, dan mungkin belum memiliki izin bangunan resmi. Inilah persoalan lama yang sering terjadi di banyak tempat - semangat membangun begitu tinggi, tapi prosedur keselamatan sering kali dianggap urusan belakangan.

Padahal, izin bangunan, pemeriksaan struktur, dan pengawasan teknis bukanlah hal sepele. Semua itu dibuat untuk satu tujuan: menyelamatkan nyawa manusia. Sebuah tiang yang kurang kuat, satu lapis beton yang salah campur, atau beban coran yang berlebihan bisa menjadi perbedaan antara bangunan kokoh dan tragedi kemanusiaan.

Luka yang Tak Hanya Fisik

Tragedi Al-Khoziny meninggalkan luka mendalam. Bagi keluarga korban, kehilangan anak yang sedang menuntut ilmu adalah cobaan yang amat berat. Bagi santri yang selamat, trauma dan rasa takut akan menghantui untuk waktu yang lama. Dan bagi masyarakat luas, muncul rasa khawatir dan pertanyaan: seberapa aman tempat belajar anak-anak kita?

Namun di balik duka, kita juga menyaksikan banyak sisi kemanusiaan. Relawan berdatangan, masyarakat saling membantu, dan doa mengalir dari seluruh penjuru negeri. Di tengah puing-puing, ada harapan yang tetap hidup - bahwa tragedi ini bisa menjadi pelajaran bagi kita semua.

Perlu Standar Baru untuk Pesantren

Indonesia memiliki ribuan pondok pesantren, banyak di antaranya dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Semangat gotong royong luar biasa, tapi tanpa standar keselamatan yang jelas, risiko selalu mengintai. Sudah saatnya pemerintah dan masyarakat bersama-sama memastikan bahwa setiap bangunan pendidikan  - sekecil apa pun - harus memenuhi syarat keamanan dasar.

Kementerian Agama dan Kementerian Pekerjaan Umum sudah menyatakan akan menyusun aturan khusus bagi pembangunan pondok pesantren. Ini langkah baik, tapi pelaksanaannya perlu serius. Jangan sampai tragedi seperti Al-Khoziny hanya jadi berita sesaat tanpa perubahan nyata.

Dari Puing, Muncul Kesadaran Baru

Musibah ini mengingatkan kita bahwa iman dan tanggung jawab sosial tak bisa dipisahkan. Membangun tempat ibadah bukan hanya soal niat baik, tapi juga soal keahlian, perencanaan, dan kehati-hatian. Setiap batu dan tiang yang ditegakkan memikul amanah untuk menjaga manusia di bawahnya.

Bangunan boleh runtuh, tapi semoga dari puing-puing itu tumbuh kesadaran baru - bahwa keselamatan adalah bagian dari ibadah, dan kepedulian adalah wujud nyata dari keimanan.

Penutup

Al-Khoziny mengajarkan kita satu hal penting: keikhlasan tidak cukup tanpa kehati-hatian. Semoga para korban mendapatkan tempat terbaik di sisi Allah SWT, dan semoga mereka yang selamat diberi kekuatan untuk bangkit. Kita yang masih diberi kesempatan hidup, mari belajar dari duka ini - agar setiap pondok, setiap sekolah, dan setiap rumah ibadah di negeri ini bisa berdiri kokoh bukan hanya karena niat baik, tetapi juga karena kesadaran akan tanggung jawab kemanusiaan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun