Saat itu, ingatan Fauzan melayang pada cerita ibunya waktu kecil: bahwa dunia pernah gelap, penuh kebodohan dan permusuhan, lalu Allah mengutus Nabi Muhammad sebagai cahaya dan rahmat.
Air mata Fauzan menetes tanpa sadar. Ia segera menyeka wajahnya, tapi semakin kuat ia menahan, semakin deras air matanya jatuh.
"Ya Allah," bisiknya dalam hati, "selama ini aku terlalu sibuk dengan logika. Aku lupa bahwa tanpa Nabi, aku bukan siapa-siapa. Bagaimana mungkin aku tidak bergembira dengan kelahirannya?"
Kyai Thohir, yang memperhatikan dari jauh, berjalan mendekat dan menepuk pundaknya. "Nak Fauzan, inilah Maulid. Bukan sekadar acara. Ini adalah wujud cinta. Cinta yang membuat hati bergetar, mata menangis, dan lidah bershalawat. Kau sudah merasakannya sendiri, bukan?"
Fauzan mengangguk sambil tersedu. "Iya, Kyai. Baru kali ini saya benar-benar merasa... Nabi begitu dekat. Seolah saya hadir menyambut beliau lahir ke dunia."
Kyai Thohir tersenyum. "Itulah rahmat Maulid. Ia bukan hanya tentang bacaan atau acara, tapi tentang menghidupkan rasa cinta di hati."
Fauzan akhirnya melangkah masuk ke halaman masjid. Jamaah menyambut dengan ramah. Ia duduk di antara mereka, ikut melantunkan shalawat sambil meneteskan air mata. Malam itu, ia tidak lagi sibuk bertanya "mengapa". Ia hanya ingin larut dalam rasa syukur dan cinta.
***
Sejak malam penuh cahaya itu, sikap Fauzan berubah. Setiap kali Maulid tiba, ia ikut bergembira. Ia membantu menata kursi, membungkus berkat, bahkan melatih anak-anak membaca shalawat.
Jika ada yang bertanya padanya, "Mengapa kalian merayakan Maulid?" Fauzan tersenyum. Ia tidak lagi menjawab dengan teori panjang.
"Bagaimana mungkin kami tidak bergembira," katanya, "saat cahaya dunia lahir membawa petunjuk bagi seluruh manusia?"