Di tengah perjalanan, Mas Adi menunjuk ke arah sebuah desa, dengan mata berbinar, "Itu desa tempat saya dilahirkan." Ternyata, "Sang Pangeran" telah berlabuh di Dusun Gondang, Desa Batur, membangun istana kecilnya bersama keluarga dan sang buah hati.
Ketika kami akhirnya memasuki Dusun Gondang, "tirai dingin" langsung menusuk hingga ke tulang, seolah menyambut kedatangan kami dengan pelukan es. Tak heran, dusun ini bersemayam di kaki Gunung Merbabu, "Sang Penjaga Langit," hanya beberapa kilometer lagi untuk menyentuh puncaknya.Â
Malam itu, setibanya di rumah Mas Sude, secangkir kopi hangat menjadi "eliksir kehangatan" sebelum saya melangkah menuju "istana kecil" yang saya sebut "vila." Bukan milik saya, melainkan milik kakak saya, dan ini adalah kunjungan perdana saya sejak "istana" itu rampung dibangun.
Udara di sana sungguh tiada duanya, "sebuah selimut dingin" yang membungkus seluruh tubuh. Setelah merapikan barang bawaan, obrolan ringan terjalin antara saya, Mas Sude, dan Mas Adi, mengakhiri hari yang panjang.Â
Sekitar pukul 03 00 pagi, mata kami tak sanggup lagi melawan gravitasi, dan kami memutuskan untuk beristirahat, mempersiapkan diri untuk "pertarungan" aktivitas esok pagi. Saya benar-benar "menenggelamkan diri" dalam kesejukan udara Dusun Gondang, di Desa Batur malam itu. Aroma pedesaan yang menenangkan jiwa dan ketenangan dipelukan Merbabu.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI