Mohon tunggu...
Haikal Kurniawan
Haikal Kurniawan Mohon Tunggu... Penulis

Penulis

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Pentingnya Hak untuk Protes dan Kebebasan Berbicara di Indonesia

9 September 2025   17:53 Diperbarui: 9 September 2025   17:53 48
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: https://pixabay.com/illustrations/protest-black-lives-matter-blm-5305400/

Beberapa waktu lalu, Indonesia dilanda oleh demonstrasi besar yang terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Berbagai protes tersebut mendapat perhatian yang cukup siginifikan tidak hanya dari media-media domestik di Indonesia, tetapi juga berbagai media internasional karena skalanya yang masif.

Serangkaian demonstrasi besar tersebut diawali dengan aksi massa pada tanggal 25 Agustus 2025, yang dipicu dari ajakan melalui berbagai platform media sosial. Ada berbagai tuntutan yang dilayangkan oleh para demonstran dalam aksi tersebut, mulai dari tuntutan agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga legislatif di Indonesia untuk bisa menjalankan fungsinya sebagai kntrol pemerintah. Selain itu, dari kalangan lain, ada juga kelompok yang menyuarakan aspirasinya agar wakil presiden dimakzulkan, hingga pembubaran parlemen (tempo.co, 31/8/2025).

Tiga hari kemudian, pada tanggal 28 Agustus 2025, terjadi kembali demonstrasi besar yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari buruh hingga mahasiswa. Demonstrasi yang dilakukan di depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Senayan, Jakarta, dan membawa berbagai isu, salah satunya adalah rencana untuk meningkatkan tunjangan anggota parlemen, yang dianggap tidak sensitif terhadap masih banyaknya kemiskinan yang dialami oleh masyarakat Indonesia (tempo.co, 31/8/2025).

Namun dalam peristiwa demonstrasi besar tersebut terjadi hal yang sangat mengenaskan. Salah seorang pengemudi ojek daring ditabrak kendaran taktis kepolisian, dan akhirnya meninggal dunia. Tragedi tersebut direkam oleh banyak demonstran yang berada di lokasi, dan tersebar luas melalui berbagai platfrom media sosial, dan menimbulkan kemarahan besar di masyarakat (timesindonesia.co.id, 29/8/2025).

Adanya kejadian tersebut sontak membuat demonstrasi menjadi semakin luas dan besar. Di hari selanjutnya, pada tanggal 29 Agustus, terjadi demonstrasi yang juga diikuti oleh banyak pengemudi ojek daring yang marah atas terjadinya tragedi yang menimpa rekan mereka di hari sebelumnya. Mereka menuntut pertanggungjawaban dari aparat penegak hukum, dan agar anggota kepolisian yang melakukan tindak kriminal tersebut segera diproses sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Tidak hanya dari pengemudi ojek daring, demonstrasi tersebut juga diikuti oleh banyak mahasiswa dari berbagai kampus, yang memprotes tindak kekerasan yang dilakukan oleh aparat (cnbcindonesia.com, 30/8/2024).

Tidak hanya di ibukota Jakarta, berbagai demonstrasi tersebut juga terjadi di berbagai kota di Indonesia, seperti  Bandung, Surabaya, Makassar, dan Medan. Tidak jarang, para demonstran dalam berbagai demonstrasi tersebut juga harus berhadapan dengan tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat (cnbcindonesia.com, 30/8/2024).

Respon pemerintah terhadap demonstrasi tersebut justru dengan semakin membatasi akses terhadap sarana komunikasi, terutama sarana komunikasi melalui internet seperti platform media sosial. Tersiar kabar bahwa pada saat demonstrasi terjadi, banyak pihak yang mengelihkanbahwa unggahan terkait dengan demo sulit untuk diposting. Menteri Komunikasi dan Digital sendiri memberi pernyataan terkait dengan hal tersebut dengan mengatakan bahwa ada yang memanfaatkan konten demonstrasi untuk menyisipkan konten judi sehingga konten-konten tersebut disensor (tvonenews.com, 31/8/2025).

Pembatasan dan sensor konten-konten yang sah secara hukum tentu merupakan bentuk pelanggaran kebebasan berbicara dan berekspresi. Terlebih lagi, bila konten yang disensor tersebut merupakan konten kritik terhadap pemerintah dan penyelenggara negara dalam bentuk aksi protes massa dan demonstrasi. Alasan banyak pihak yang menyalahgunakan konten tersebut untuk menyisipkan judi misalnya tentu juga tidak bisa dibenarkan mengingat ada jutaan konten di berbagai platform dan website yang disusupi judi, dan kalau argument ini dipakai maka hampir tidak aka nada konten Indonesia yang diunggah di dunia maya.

Yang amat disayangkan, tindakan reprsif terkait dengan demonstrasi yang terjadi tidak hanya dalam bentuk sensor konten media sosial, tetapi juga penangkapan terhadap para aktivis dan warga yang dituduh menjadi provokator. Salah satu aktivis dari organisasi pegiat Hak Asasi Manusia Lokataru, Delpedro Marhaen misalnya, ditangkap oleh aparat dan dijadikan tersangka atas tuduhan provokasi (bbc.com, 3/9/2025).

Salain itu, kediaman aktivis Lokataru tersebut juga digeledah oleh pihak kepolisian secara paksa. Beberapa barang yang disita oleh polisi diantaranya ada tiga buah buku. Pihak kuasa hukum dari Delpedro sendiri menyatakan bahwa penggeledahan yang dilakukan tidak sesuai dengan prosedur, dan tanpa kehadiran dan pihak pengacara (tempo.co, 5/9/2025).

Tidak hanya Delpedro yang ditangkap, aparat juga menangkap beberapa aktivis lainnya, seperti admin Gejayan Memanggil Syahdan Husein, staf Lokataru Majaffar Salim, mahasiswa Universitas Riau Khariq Anhar, dan pemilik akun TikTok berinisial FL. Mereka semua ditangkap atas tuduhan provokasi (tirto.id, 3/9/2025).

Adanya tindakan represif dari pemerintah seperti ini tentu merupakan hal yang amat disayangkan, mengingat Indonesia sejak tahun 1998 merupakan negara demokrasi. Selain itu, hal ini juga sudah pernah disampaikan oleh Prabowo sebelum ia menjadi presiden. Melalui akun resmi media sosial Twitter miliknya, pada tahun 2016 lalu ia pernah menagtakan bahwa demonstrasi meruapakn bagian dari demokrasi dan hak konstitusional setiap warga negara (x.com, 5/11/2016).

Tentunya jangan sampai kata-kata tersebut hanya menjadi pernyataan belaka, dan harus diimplementasikan dan diterapkan ketika ia sudah mendapatkan kekuasaaan dan menjadi presiden. Jangan sampai, Indonesia jatuh kembali ke lubang hitam otoritarianisme di masa lalu, di mana kebebasan sipil dan politik dibungkam untuk melanggengkan kekuasaan.

Referensi

https://www.tempo.co/politik/kronologi-demo-memprotes-dpr-hingga-meluas-berubah-penjarahan-2065182

https://timesindonesia.co.id/peristiwa-nasional/552119/kronologi-meninggalnya-affan-kurniawan-terlindas-rantis-brimob

https://www.cnbcindonesia.com/news/20250830145726-4-662882/kronologi-demo-25-29-agustus-demo-dpr-melebar-jadi-amarah-ke-polisi

https://www.tvonenews.com/berita/nasional/366724-ditanya-soal-sensor-konten-demo-di-medsos-meutya-hafid-menyisipkan-judi-lewat-gift#google_vignette

https://www.bbc.com/indonesia/articles/cm212l5nyy2o

https://www.tempo.co/hukum/polisi-geledah-apartemen-delpedro-marhaen-tiga-buku-disita-2066902

https://x.com/prabowo/status/794747464863477760

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun