Mungkin ada sebagian pembaca yang berpikir bahwa, bila demikian, yang paling bertanggung jawab dan patut disalahkan atas hal tersebut adalah para perokok itu sendiri. Mereka lah yang membuat pilihan untuk menggunakan pendapatan yang mereka dapatkan untuk membeli rokok, daripada untuk membeli makanan bergizi bagi anak-anak mereka, atau untuk menabung.
Saya tidak menolak sepenuhnya pandangan tersebut. Memang benar dalam hal ini, yang paling bertanggung jawab adalah para perokok tersebut yang memilih untuk menggunakan uang mereka untuk membeli rokok.
Akan tetapi, hal tersebut tidak bisa dijadikan justifikasi bagi pemerintah untuk menambahkan beban mereka melalui kebijakan cukai rokok yang tinggi, yang akan semakin memperparah kemiskinan dan memaksa mereka yang berasal dari rumah tangga miskin untuk mengeluarkan uang lebih.
Selain itu, kebijakan sin tax untuk produk-produk tembakau sudah terbukti sebagai kebijakan yang gagal untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
Dari sejak tahun 2013 sampai 2016 misalnya, cukai rokok di Indonesia suda naik setidaknya 5 kali, yakni dinaikkan sebesar 8,5% pada tahun 2013, dinaikkan kembali sebesar 8,72% pada tahun 2015, dan pada tahun 2016, cukai rokok kembali dinaikkan oleh pemerintah sebesar 11,9%.[4]
Akan tetapi, jumlah perokok dari tahun ke tahun di Indonesia terus meningkat. Pada tahun 2013 misalnya, jumlah perokok dewasa (di atas 15 tahun) di Indonesia adalah 38% dari jumlah penduduk. Jumlah perokok dewasa di Indonesia pada tahun 2016 justru meningkat menjadi 39,4% dari jumlah penduduk.[5] Kenaikan cukai rokok sudah terbukti merupakan kebijakan yang gagal untuk menurunkan jumlah perokok di Indonesia.
Lantas, apakah berarti ada solusi untuk mengurangi jumlah pengguna rokok di Indonesia?
Kebijakan menaikkan harga rokok untuk mengurangi insentif seseorang untuk merokok sudah terbukti gagal di Indonesia. Oleh karena itu, kita sudah seharusnya mencoba kebijakan lain untuk memberi insentif bagi perokok untuk berhenti merokok, salah satunya adalah dengan menyediakan alternatif rokok yang lebih aman.
Alternatif tersebut adalah rokok elektronik, atau yang dikenal dengan nama vape. Berdasarkan laporan dari lembaga pemerhati kesehatan asal Britania Raya, Public Health England (PHE) tahun 2015, rokok elektronik 95% lebih aman daripada rokok tembakau konvensional.[6] Selain itu, vape juga telah terbukti sebagai alternatif yang efektif untuk membantu perokok berhenti mengkonsumsi rokok tembakau yang dibakar.[7]
Saat ini, banyak pandangan dari berbagai pihak di Indonesia yang menyuarakan pelarangan vape.[8] Hal ini tentu merupakan kebijakan yang sangat berbahaya, karena bila aturan ini diberlakukan, hal tersebut akan menghilangkan opsi bagi para perokok untuk mendapatkan produk alternatif lain, yang dapat membantu mereka menghilangkan kebiasaan konsumsi rokok yang sehari-hari mereka lakukan.
Sangat penting juga bagi pemerintah untuk tidak mengenakan kebijakan cukai bagi produk rokok elektronik, sehingga produk tersebut dapat diakses oleh kelompok miskin di Indonesia, yang merupakan kelompok perokok tertinggi.