“Dapet C?!” katanya sangat kaget. Sisil memang terbiasa mendaptkan nilai A pada semua mata kuliah. Baru kali ini ia merasakan dapat nilai C.
Pada titik itu, nilai C yang dia dapatkan sekarang seolah-olah menampar Sisil. Dia sadar ada yang salah dengan sikapnya setelah diputusin Zamud. Isi otaknya selalu Zamud. Zamud yang berubah menjadi dingin dan tak kunjung mengangkat telfonnya.
Bukan hanya itu, organisasi yang dia ikuti berjalan kacau. Jika digambarkan dengan grafik maka grafik menurun lah yang akan terlihat. Jobdesk kacau, partner memberi feedback buruk, dan tak lupa teman-temannya yang kecewa.
Sisil pun meluapkan emosinya dengan menangis sekencang-kencangnya di kamar kosnya yang sepi dan dingin. Perlahan, seiring dengan emosinya yang mereda dia pun tersadar bahwa dia tak bisa terus menerus seperti ini masih ada yang jauh lebih penting daripada memikirkan masa lalu yaitu kuliah dia.
“Kenapa sih gue begini? Kemana gue yang dulu?” teriaknya sambil bercucuran air mata.
“Gue gak bisa terus-terusan kaya gini. Masih ada hal penting di hidup gue. Toh, juga, walaupun gak ada dia, gue gak mati.” Ucapnya sebagai penenang untuk dirinya sendiri.
Setelah meluapkan emosinya, Sisil pun tertidur sangat lelap.
Keesokan harinya Sisil terbangun dengan pagi yang sangat cerah seolah semesta menyambut kembalinya diri yang dulu lagi. Mulai saat itu, ia pun memulai kehidupan kampusnya dengan normal dan bahkan lebih baik daripada diri yang lalu.