Mohon tunggu...
Haidar Bagir
Haidar Bagir Mohon Tunggu... -

Ketua Gerakan Islam Cinta, (Belajar) Cinta pd Allah & makhluknya. Cinta Indonesia. Laa Sunnah wa laa Syi'ah, muslim in sya Allah. \r\nwww.haidarbagir.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengantin Kekerasan, Pengantin Cinta

4 April 2016   21:49 Diperbarui: 4 April 2016   21:59 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Penyebab mengerasnya sikap-sikap kelompok yang disebut belakangan kiranya dapat dirunut kepada dua hal. Pertama, perasaan menjadi korban penindasan kelompok angkara (mustakbarun). Kedua, suatu konsep ketuhanan yang menekankan pada sifat-sifat ”keras” Tuhan. Mengenai yang pertama kiranya dapat dengan mudah disimpulkan dari kondisi psikologis dan sosial ekonomi pelaku kekerasan seperti ini. Kalau tidak merasa harus membalas dendam (atau setidaknya melawan) penindasan negara-negara superpower kafir atau rezim-rezim lalim atas umat Islam, mereka berasal dari keluarga-keluarga yang secara sosial ekonomi underprivileged. Untuk membahas yang kedua, marilah kita ulas secara ringkas dua konsep tentang Tuhan yang berkembang dalam studi agama.

Sebagaimana diungkap oleh para ahli fenomenologi, agama atau pemahaman orang tentang agama terbagi ke dalam dua kelompok berdasarkan konsepnya tentang Tuhan. Yang pertama, agama atau cara pandang berorientasi hukum (nomos/law oriented). Agama atau cara pandang seperti ini, jika dilacak lebih jauh, bersumber pada keyakinan kepada Tuhan sebagai suatu mysterium tremendum (misteri yang dahsyat, agung, mencekam). Sebagai akibatnya, lahir ketundukan kepada hukum-hukumnya. Yang kedua, agama atau cara pandang yang berorientasi cinta (eros oriented), yang melihat Tuhan sebagai mysterium fascinans (misteri yang indah, anggun, dan mempesona), yang menimbulkan rasa cinta kepada-Nya. Sejalan dengan penggolongan yang awalnya dipromosikan oleh Rudolf Otto ini, para pemikir Islam membagi sifat Tuhan ke dalam kelompok jalaliyah (tremendum) dan jamaliyah (fascinans).

Nah, mudah diduga, kelompok orang beragama yang melihat Tuhan lebih sebagai suatu tremendum akan menekankan secara nyaris eksklusif pada sifat-sifat-Nya yang ”keras, memaksa, jumawa, pembalas”, dan sebagainya. Konsep ketuhanan seperti ini, disadari atau tidak, mendorong pemeluknya cenderung melihat kemanusiaan—melalui kacamata Tuhan seperti ini—sebagai lebih diwarnai pembangkangan, arogansi, dan kejahatan. Sehingga kemudian sikap membenci dan penggunaan kekerasan terutama diperlukan untuk menaklukkannya.

Tidak demikian halnya dengan kelompok yang lain, khususnya kaum sufi. Meski tidak menyangkal bahwa Tuhan memang memiliki sifat-sifat jalaliyah (”keras”), yang prinsipial dari-Nya adalah cinta kasih, kelembutan, dan permaafan”. Bukankah Dia sendiri memfirmankan bahwa ”Rahmat-Ku melingkupi segala sesuatu” dan, sejalan dengan itu, ”Rahmat-Ku mendominasi murka-Ku”?

Maka, kalaupun cinta tidak sama sekali absen dalam gerakan-gerakan kekerasan, mereka mewujudkan kecintaan mereka kepada Tuhan, dan harapan untuk mendapatkan cinta dari-Nya, melalui pelancaran perang terhadap musuh-musuhnya. Dengan kata lain, mereka menempatkan diri sebagai perpanjangan murka-Nya kepada kaum pembangkang dan pendosa. Mereka cenderung melupakan sifat-sifat dominan Tuhan sebagai Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang (kepada semua unsur alam semesta). Sedangkan kaum sufi tak dapat melihat semua tindakan Tuhan kecuali sebagai manifestasi cinta kasih-Nya kepada manusia. Bahwa, bahkan pada diri para kekasih-Nya, cinta kasih harus diuji melalui kesediaan untuk menderita bagi Sang Kekasih. Sebab, bukankah cinta sejati adalah keinginan memberi kepada yang dicinta tanpa berhitung tentang imbalan yang akan diterima, atau ketakutan?

Konsep cinta para protagonis gerakan kekerasan, kalau ada, tak jelas benar batasnya dengan semangat dan kesetiaan seorang hamba untuk melayani majikannya, sementara pada kaum sufi ia mengambil bentuk penghambaan kepada kekasih yang dicintai.


Pengantin kelompok kekerasan, meski intim, diikat dalam suatu formalitas kawin ”paksa”, sementara pengantin sufi diikat dengan jalinan cinta penuh sukarela. Dalam segenap kesadaran tentang cinta kasih Tuhan yang meliputi segala, orang-orang seperti ini terikat oleh obligasi untuk bertindak sebagai khalifah-Nya dan khalifah rasul-Nya dalam menebarkan rahmat kepada semesta alam (rahmatan lil-’alamin).

Tampaknya waktu sudah terlewat lama sejak kaum muslim, sebagaimana nonmuslim dan banyak ahli tentang Islam, melupakan sifat Islam sebagai terutama agama cinta, yang segala urusan yang terkait dengan hukum tertundukkan atasnya. Menjadi tugas semua orang, yang ingin melihat perdamaian tegak menggantikan peperangan dan kekerasan, untuk mengembangkan paradigma ini ke tengah umat, sambil tak lupa terus terlibat dalam upaya mengatasi berbagai bentuk penindasan—yang sayangnya masih merupakan pemandangan biasa di dalam pergaulan antarmanusia, antaragama, dan antarbangsa. Hanya dengan menggarap kedua persoalan ini secara serempak dan penuh keadilan, kita bisa berharap membuktikan kesalahan orang-orang yang menganggap perdamaian di bumi manusia ini adalah suatu utopia belaka. Bi ’awnil-Lahi Ta’ala.

 

~Ini tulisan lama Dr. Haidar Bagir.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun