Mohon tunggu...
Haidar Bagir
Haidar Bagir Mohon Tunggu... -

Ketua Gerakan Islam Cinta, (Belajar) Cinta pd Allah & makhluknya. Cinta Indonesia. Laa Sunnah wa laa Syi'ah, muslim in sya Allah. \r\nwww.haidarbagir.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pengantin Kekerasan, Pengantin Cinta

4 April 2016   21:49 Diperbarui: 4 April 2016   21:59 305
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

TAHUN 2003. Untuk pertama kalinya kita di negeri ini belajar bahwa ”pengantin” tidak selalu berhubungan dengan cinta. Yang ”mengajar” kita adalah seseorang dengan nama Asmar Latin Sani. Setelah peledakan bom bunuh diri di Hotel JW Marriott, yang menyebabkan jatuhnya banyak korban sipil, polisi mendapati dalam komputer penggunaan kata ”pengantin” untuk makna yang tidak biasa.

Pada awalnya, barangkali, orang menduga kata itu dipakai sebagai sandi biasa dalam kegiatan klandestin. Tapi kita segera disadarkan, sebagai sandi pun, kata itu memiliki akar dalam pemahaman orang-orang seperti Latin Sani tentang ajaran Islam. Belakangan, setelah bom Marriott jilid kedua, makna kata ini secara resmi benar-benar masuk ke dalam kosakata populer bahasa kita.

Sementara biasanya kata ”pengantin” terkait dengan ikatan perkawinan yang (seharusnya) dilandasi rasa cinta, di mata Latin Sani dan orang-orang sepertinya kata ini sama kuatnya dengan kebencian. Memang mereka mendambakan perkawinan dengan bidadari-bidadari di surga setelah mati sebagai martir, yakni kematian akibat perjuangan melawan ”musuh-musuh Islam” yang mereka benci sepenuh hati.

Memang, meski banyak dikritik sebagai tidak mencapai derajat kesahihan, ada beberapa hadis Nabi yang diriwayatkan mengiming-imingi penghuni surga dengan bidadari-bidadari (hur ’in) yang, selain menawan, juga suci. Di sisi lain, orang-orang yang mati dalam perjuangan (jihad) di jalan Allah dijamin masuk surga tanpa perhitungan.

Sesungguhnya semua muslim beriman terikat pada keyakinan seperti ini. Persoalannya: apakah yang disebut sebagai jihad itu dan bagaimana cara melancarkannya? Kalaupun semua muslim sepakat bahwa peperangan melawan penindas agama dan para pembangkang boleh jadi masuk ke dalam kategori jihad, adakah secara sengaja menargetkan sasaran sipil sebagai korban tindakan kekerasan termasuk di dalamnya?

Bukankah, bahkan seperti diakui oleh tokoh-tokoh yang dianggap pendukung gerakan kekerasan sendiri, prajurit Islam diharamkan mengganggu perempuan dan orang uzur?

Bahkan mereka diperingatkan untuk tidak menginjak-injak ”hanya” tanaman?

Sebenarnya orang-orang seperti Latin Sani bukan satu-satunya kelompok yang mengaitkan makna kata ini dengan agama dan Tuhan. Sakralisasi seperti ini terdapat pula di agama-agama selain Islam, termasuk agama kristiani dan Yahudi. Bahkan juga dalam sufisme. Memang istilah ”pengantin” juga dipakai dalam sufisme untuk menggambarkan para wali dan hubungan mereka dengan Allah. Para wali, dalam sufisme, tak jarang disebut sebagai ”pengantin-pengantin Allah”. Seorang sufi awal, misalnya, menyatakan, ”Para wali adalah pengantin-pengantin Allah, tapi hanya para muhrim (orang-orang yang dekat kepada para wali dan kewalian) yang boleh melihat para pengantin itu.”

Hubungan keduanya dilandasi perasaan cinta yang meluap-luap, bagaikan suami-istri (tanpa konotasi seksual yang banal, tentu saja). Begini Ibn ’Arabi, misalnya, menggambarkannya dalam Fushush al-Hikam: ”Persahabatan keduanya adalah… paling intim… lebih seperti cinta yang amat meluap-luap sehingga pencinta sepenuhnya diresapi dengan sang kekasih.” Inilah yang, di dalam berbagai studi tentang mistisisme di berbagai agama, biasa disebut sebagai bridal mysticism (mistisisme yang melibatkan konsep hubungan pengantin manusia-Tuhan).

Tapi ada jurang yang amat lebar antara konsep pengantin dalam sufisme dan dalam gerakan kekerasan model Latin Sani dan kelompoknya. Dalam yang pertama, pengantin adalah unsur dalam perkawinan yang diikat dengan cinta, permaafan, dan perdamaian, dalam derajatnya yang paling tinggi. Sehingga, kalaupun tidak sama sekali bebas dari konsep mengenai penggunaan kekerasan (baca: peperangan dan hukuman fisik), dalam sufisme ia adalah pengecualian dari kaidah. Ia hanya boleh digunakan dalam kerangka cinta kasih kepada kemanusiaan sebagai suatu keseluruhan.

Sebaliknya, dalam berbagai gerakan atau kelompok kekerasan, peperangan, penghukuman, dan perlawanan bersenjata nyaris merupakan suatu keniscayaan. Sering kali, disadari atau tidak, dasarnya adalah kebencian dan semangat devilisasi (menganggap jahat) sebagian besar orang. Sementara dalam sufisme manusia dianggap memiliki bakat baik, sebaliknya dalam berbagai gerakan kekerasan, kecurigaan adalah kaidahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun