Mohon tunggu...
H. H. Sunliensyar
H. H. Sunliensyar Mohon Tunggu... Penulis - Kerani Amatiran

Toekang tjari serpihan masa laloe dan segala hal jang t'lah oesang, baik jang terpendam di bawah tanah mahoepun jang tampak di moeka boemi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika TBC Dikira Termakan Racun Tradisional, Sisi Lain Kehidupan Orang Kerinci

3 Februari 2020   16:20 Diperbarui: 4 Februari 2020   17:33 1139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi TBC, tuberculosis (Shutterstock) via Kompas.com

Seperti dalam cerita keluarga di atas, mereka tidak menderita TBC secara bersamaan. Ada jarak waktu yang terbilang lama ketika anggota keluarga lain tertular TBC. Anggota keluarga yang sehat dan bertahan mungkin karena sistem imun/daya tahan tubuh mereka yang baik saat itu. Akan tetapi, tak menutup kemungkinan mereka juga akan tertular nantinya. 

Secara medis, penderita TBC akan ditangani dengan pemberian obat dan anti-biotik yang sesuai dengan resep dokter. Pemberian obat ini berlangsung cukup lama bahkan hingga enam bulan. 

Para pasien harus patuh dan rutin mengonsumsi obat sesuai anjuran dokter. Kesalahan dan ketidakpatuhan pasien justru bisa menimbulkan penyakit yang lebih parah karena bakteri tersebut dapat kebal terhadap antibiotik yang diberikan. 

Namun mirisnya, kejadian itulah yang sering terjadi di Kerinci. Akibat ketidaktahuan pasien, mereka tiba-tiba berhenti mengonsumsi obat di tengah perawatan karena penyakitnya tidak menunjukkan adanya perubahan. 

Kemudian beralih kepada pengobatan tradisional, ketika mereka  tak kunjung sembuh, mereka kembali lagi ke dokter. Tetapi sudah semakin sulit diobati karena kuman yang mengebal dan  organ tubuh yang sudah semakin rusak.

Jikalau diperhatikan, rata-rata penderita TBC hidup digaris kemiskinan. Lingkungan yang kotor dan sanitasi yang buruk ditambah konsumsi makanan yang tidak bergizi semakin mempermudah penularan TBC antar keluarga yang tinggal satu atap.

Dilansir dari liputan6.com, laporan WHO pada tahun 2018 menyebutkan bahwa tuberculosis (TBC) merupakan penyakit paling mematikan di dunia dan umumnya di derita penduduk yang hidup di negara berkembang. Indonesia sendiri berada pada peringkat ketiga jumlah penderita TBC terbanyak di dunia setelah India dan China. 

Tulisan ini dibuat agar kita peduli terhadap mereka yang menderita TBC. Bila kita menemukan kasus yang serupa, segera laporkan dinas kesehatan dan segera bawa ke rumah sakit terdekat. 

Jangan dijauhi dan diberi sangkaan buruk apalagi menyebarkan isu bahwa mereka telah dikutuk. Dengan demikian mudah-mudahan di tahun 2030 mendatang  dunia telah bebas dari penyakit berbahaya ini sesuai dengan target WHO.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun